Denpasar (Metrobali.com)-

Sebagai daerah otonom berdasarkan UU Otonomi Daerah, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki perjanjian kerja sama dengan negara lain di sektor yang disepakati. Namun, hal itu kini akan ditertibkan, dengan dibahasnya RUU Perjanjian Internasional.
Ketua Delegasi Kunjugan Kerja Badan Legislasi DPR RI, H.A Dimyati Natakusumah, menjelaskan, untuk mematangkan RUU itu pihaknya menyerap masukan dari tiga provinsi yang banyak berhubungan dengan negara lain. Ketiga daerah itu adalah Provinsi Bali Kepulauan Riau (Kepri) dan Papua.
“Tiga daerah ini yang banyak berhubungan dengan dunia internasional dan berbatasan dengan negara lain. Bali berbatasan dengan Darwin, Australia, Kepri dengan Singapura dan Papua dengan Papua Nugini. Jelas kita ingin mendapat masukan konstruktif terhadap UU itu yang akan kita revisi,” jelas Dimyati usai bertemu dengan Pemerintah Provinsi Bali di Kantor Gubernur Bali, Rabu 30 Mei 2012.
Dimyati menjelaskan jika revisi UU Perjanjian Internasional diarahkan agar rakyat Indonesia mendapat manfaat lebih baik dari perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
“Target kami agar rakyat makmur dan sejahtera dengan adanya perjanjian ini. Jangan sampai ada perjanjian, misalnya di sektor pertambangan atau perdagangan internasional yang banyak merugikan kita. Untuk Bali saya berharap ada sister city, sister iland atau sister province yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dengan negara luar yang lebih maju,” kata dia.
Dengan begitu, akan ada timbal balik yang jelas bagi kedua belah pihak. Misalnya, dia menyontohkan, perjanjian di bidang kesehatan seperti pertukaran pendidikan perawat. Hal lainnya di bidang industri, pariwisata, kesehatan dan lainnya. “Bagaimana perjanjian itu nantinya akomodatif, berkualitas dan berpihak kepada rakyat. Target kami RUU ini selesai tahun ini,” papar Dimyati.
Sementara itu, Rieke Diah Pitaloka menegaskan soal bentuk negara Indonesia berkaitan dengan rencana perjanjian internasional suatu daerah.
“Betul jika kita daerah itu otonom. Tetapi jangan sampai otonomi daerah itu bisa melakukan perjanjian internasional tanpa sepengetahuan pusat. Karena kita ini masih NKRI. Meski otonom, kita bukan negara federal,” tegas Rieke.
NKRI, kata Rieke, harus dijaga sama-sama. Pasalnya, beber Rieke, sudah ada beberapa daerah lain yang menjalin kerja sama dengan negara lain tanpa sepengetahuan Pemerintah Pusat.
“Misal di Papua, sudah ada perjanjian internasional. Jangankan minta izin ke Pemerintah Pusat, tahu juga (pemerintah pusat) tidak. Nah, ini yang mesti kita atur dalam UU ini nantinya,” jelas dia.
RUU tersebut, Rieke melanjutkan, mengatur persoalan lain di luar ekonomi semisal Sumber Daya Alam (SDA). “SDA itu harus dikuasai sendiri. Apa timbal baliknya (jika dikuasai asing), harus jelas untuk bangsa. Juga perjanjian kesehatan, ketenagakerjaan, yang akan terjadi dalam pasar bebas dan globalisasi saat ini. Poin-poin itu yang saya kira kita akan akomodasi dari pertemuan ini dan penting untuk diperhatikan,” ulas Rieke.
Dalam konteks pariwisata di Bali, Rieke menyebut persoalan kepemilikan lahan oleh asing dalam hal sarana pendukung industri pariwisata juga mesti diatur. “Peralihan dari perjanjian kepemilikan warga asing yang memiliki tanah itu juga harus dipikirkan,” imbuh Rieke. BOB-MB