Denpasar, (Metrobali.com) –

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem perbankan Indonesia, terutama dalam melindungi simpanan nasabah dan mendukung penyelesaian bank bermasalah. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), peran LPS semakin diperkuat dan diperluas.

Berdasarkan data terbaru, perkembangan simpanan di bank umum menunjukkan tren positif di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Provinsi Bali. Dari segi jumlah rekening, Bali menempati peringkat ke-17 secara nasional, namun secara nominal simpanan, Bali berada di peringkat ke-7. Menariknya, rata-rata simpanan di Bali hanya berada di bawah DKI Jakarta dan Riau, menjadikannya salah satu wilayah dengan jumlah simpanan yang cukup signifikan.

“Salah satu perubahan penting yang diatur dalam UU P2SK adalah penyesuaian jumlah penjaminan maksimal oleh LPS. Saat ini, jumlah maksimal yang dijamin oleh LPS adalah Rp2 miliar per nasabah per bank,” ungkap Bambang S. Hidayat Kepala Kantor Perwakilan LPS II dalam temu media di Denpasar, Jumat 11 Oktober 2024.

Jumlah ini mengalami beberapa kali perubahan sejak pertama kali diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang awalnya menetapkan batas penjaminan yang lebih rendah. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika ekonomi, serta perubahan sosial yang terjadi.

Selain penyesuaian jumlah penjaminan, LPS juga telah mendapatkan kewenangan baru melalui UU P2SK, termasuk kewenangan untuk menempatkan dana di bank bermasalah dan menyelesaikan masalah pada perusahaan asuransi yang mengalami kesulitan likuiditas. Kewenangan ini memungkinkan LPS untuk lebih proaktif dalam menjaga stabilitas sektor keuangan, terutama dalam situasi krisis.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan simpanan nasabah tidak layak dijamin oleh LPS adalah suku bunga simpanan yang melebihi tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan. Hal ini kata dia, sering kali tidak diketahui oleh masyarakat umum, meskipun bank seharusnya memberikan informasi terkait hal ini kepada nasabah.

“Jika suku bunga yang ditawarkan oleh bank melebihi batas yang dijamin oleh LPS, simpanan tersebut tidak akan dijamin oleh LPS, meskipun simpanannya berada di bawah batas maksimal Rp2 miliar,” bebernya.

Selain suku bunga, cashback yang diberikan oleh bank kepada nasabah juga dapat dianggap sebagai tambahan bunga. Jika cashback ini membuat total bunga yang diterima nasabah melebihi batas bunga penjaminan, simpanan tersebut menjadi tidak layak dijamin oleh LPS.

Sejak LPS mulai beroperasi, katanya sudah banyak bank yang mengalami pencabutan izin usaha, baik bank umum maupun BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Hingga 22 September 2024, terdapat 137 bank yang sudah dilikuidasi oleh LPS, yang terdiri dari 1 bank umum dan 107 BPR di seluruh Indonesia, termasuk 10 bank di Bali.

“LPS telah membayarkan klaim penjaminan kepada nasabah bank-bank yang dilikuidasi tersebut. Total simpanan yang dijamin oleh LPS mencapai Rp3,36 triliun, dengan 432.551 rekening. Dari jumlah tersebut, sekitar 83,27% simpanan layak dibayar, dengan total nilai Rp2,8 triliun,” tegasnya.

Namun, ada pula simpanan yang tidak layak dijamin, dengan total nilai Rp562 miliar atau 16,73%. Sebagian besar simpanan yang tidak layak dijamin disebabkan oleh suku bunga simpanan yang melebihi tingkat bunga penjaminan (67,24%), sementara 26,42% simpanan tidak layak karena nasabah terlibat dalam kredit bermasalah (kredit macet). Sisanya disebabkan oleh faktor lain seperti tidak adanya aliran dana masuk.

(jurnalis : Tri Widiyanti)