Denpasar, (Metrobali.com)

Ciri Melekat Peradaban Air Masyarakat Bali dapat dibaca dalam lontar tua Dharma Kelawasan ada tertulis: “Gunung Ngewangun Urip Kaseloka Batu Karu, Munduk Lantang, Tulang Giing Jagat Bali”. Bentang alam dari Pucak Penulisan sampai Gunung Batu Karu, “jejer kemiri” Bukit mengitari Danau Batur, TULANG SUMSUMNYA Pulau Bali.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, intelektual Bali, pengamat ekonomi dan kebudayaan Bali, Sabtu 22 Maret 2025 menanggapi visi dan misi pemerintah provinsi Bali.

Dikatakan, Ekspresi dari Agama Alam yang memulyakan Alam sebagai sumber kehidupan. Ini merupakan gambaran dasar dari Peradaban Air dari masyarakat Bali.

Menurut I Gde Sudibya, Empat Danau: Batur, Beratan, Buyan dan Tamblingan, yang pasokan airnya datang dari empat hutan utama: Pengenjaran (Kintamani Barat), Penulisan (Kintamani Utara), Gunung Agung, Gunung Batu Karu, dan “jejer kemiri” Bukit dari Bon, Mangu, Beratan,”jejer kemiri” Bukit dari Tejakula di Timur sampai di Bantiran di Barat, yang menjadi “pertanda” Den Bukit (Kabupaten Buleleng), yang menjadi pemasok utama Air di Pulau Bali, menggambarkan pengelolaan holistik Alam, merupakan ciri melekat (inhaerent) dalam Peradaban Air masyarakat Bali.

Dikatakan, krama Bali begitu dekat dengan air adalah adanya tradisi, Upakara “ngusaba gumi” di empat Danau, memberikan penggambaran Peradaban Air ini, menjadi melekat dalam sistem keyakinan masyarakat Bali.

“Sistem keyakinan Agama Alam, Manusia tidak bisa semena-mena terhadap Alam, membangun relasi harmoni dan menjadi bagian dari Alam Raya. Sistem keyakinan, Manusia tidak punya otoritas mutlak terhadap Alam, kalau ingin selamat dalam kehidupan,” katanya.

Menurutnya, peradaban Air yang diwujudkan dalam Sistem Subak yang telah melegenda: membangun harmoni dengan Alam, cerdas dalam manajemen Air, membangun organisasi dengan semangat solidaritas, kesejahteraan bersama Sekala – Niskala, dalam sistem ekonomi sosial Sosialime Relegius.

Namun kenyataannya, lanjut Gde Sudibya, peradaban Air Mengalami Ancaman, akibat sistem keyakinan monoteistik, yang menempatkan Manusia di atas Alam, sehingga boleh-boleh saja semena-mena pada Alam, yang melahirkan: modernisme, industrialisme dan kemudian kapitalisme pariwisata.

Menurutnya, kini telah terjadi penurunan kualitas hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, tidak adanya program reboisasi, proyek reboisasi yang setengah hati.

Dikatakan, telah terjadi pencemaran di lingkungan Danau, perusakan lingkungan dan penurunan kualitas lingkungan, di Danau: Batur, Beratan, Buyan dan Tamblingan dengan derajat keparahan yang berbeda.

“Akibat ganasnya kapitalisme pariwisata, dengan motif utama maksimalisasi laba, dominasi kekuatan modal, abai dan merusak lingkungan, dan meminggirkan masyarakat lokal secara ekonomi dan kultural,” katanya.

Berdasarkan data Google, selama kurun waktu 70 tahun 1950 – 2020, suhu permukaan Bali naik, 1,9 derajat celsius, sedangkan menurut Kesepakatan Paris (2016), yang menghimpun para pakar lingkungan hidup PBB, kenaikan suhu bumi di atas 1,6 derajat celsius, membuat manusia akan mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dari krisis iklim. Salah satunya, meningkatnya bencana alam hidrologi yang berdampak serius terhadap keberlanjutan Peradaban Air Masyarakat Bali.

Oleh karenanya, lanjut I Gde Sudibya, untuk menghadapi tantangan dalam Penyalamatan Peradaban Air pada Masyarakat Bali diperlukan program holistik penyelamatan Bali: Alam, Manusia dan Kebudayaannya.

“Yang mendesak, Visi Sat Kerthi Loka Bali, yang memuat idealisme kesucian, kemulyaan Hutan, Danau, Laut, tidak sekadar cita-cita mengukir abstrak langit rokhani. Perlu dibumikan dengan program penyelamatan Alam yang tranparan, dengan target jelas, jadwal yang ketat dan indikator kinerja yang terukur,” kata Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, intelektual Bali, pengamat ekonomi dan kebudayaan Bali.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan