Penyediaan Jasa Transportasi Publik, Indikator Keberhasilan atau Kegagalan Pemerintahan Daerah?
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)-
Dalam kasus yang menghebohkan, penghentian kegiatan operasional dari Trans Metro Dewata, dapat diberikan catatan.
Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, dimana-mana di seluruh dunia, dalam masyarakat yang beradab, penyediaan jasa pelayanan publik (public utilities), seperti: air, kebersihan lingkungan, transportasi publik, pelayanan kesehatan, menjadi tolok ukur keberhasilan dari pemerintahan daerah, eksekutif dan legislatif.
Dikatakan, di negara-negara Skandinavia, Swedia, Denmark dan Norwegia, Dewan Kota (yang terdiri dari Wali Kota dan anggota parlemen kota), jika gagal dalam penyediaan “public utilities” hampir pasti tidak terpilih dalam Pemilu berikutnya.
“Ada sangsi politik yang amat keras dari warga kota, bagi Dewan Kota yang tidak amanah dalam penyediaan jasa publik penting bagi warga kota,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, dalam kasus penghentian kegiatan operasional Trans Metro Dewata, tampak kurangnya empati bagi eksekutif dan legislatif dalam penentuan prioritas APBD untuk kepentingan transportasi publik bagi masyarakat bawah.
Menyimak APBD Bali tahun 2024, lanjut Gde Sudibya, besarnya bantuan sosial Rp.1, 4 T, dari total APBD sekitar Rp.7 T, padahal untuk pengoperasian Trans Metro Dewata konon hanya memerlukan anggaran Rp.80 M.
Tampak di sini, katanya, penentuan politik anggaran kurang fokus untuk kepentingan publik. Besarnya dana bansos, yang secara ilmu politik disebut dana “gentong babi”, langsung dan tidak langsung lebih berkaitan dengan elektabilitas anggota DPRD, yang tingkat efektivitasnya memperbaiki kesejahteraan rakyat, masih patut dipertanyakan.
Menurutnya, sudah seharusnya, alokasi dana bansos ini dikurangi secara signifikan, sehingga postur APBD Bali, Kabupaten dan Kota ke depan, lebih memihak untuk peningkatan kesejahteraan publik.
Dikatakan, untuk proyek kerakyatan penanggulangan kemiskinan, bea siswa bagi siswa miskin, program penanggulangan stunting, subsidi bagi: buruh tani, nelayan, pendirian sekolah bagi siswa miskin dan upaya penanggulangan kesehatan jiwa warga miskin dan transportasi publik.
Menurutnya, alokasi APBD yang dalam studi pembangunan disebut dengan “preferential for the poor”, pembangunan yang memihak “wong cilik”.
Dikatakan, nilai kultural Bali, mengenal tradisi yang “adi luhung”, dalam untaian kata nan indah: “paras paros sarpanaya, sagilik-saguluk, salungkung sabayantaka”, nilai solidaritas sosial dengan keterikatan yang dalam, yang merupakan modal sosial manusia Bali yang telah mentradisi.
“Momentum bagi eksekutif dan legislatif untuk “membumikan” nilai kebersamaan tsb.dalam politik anggaran yang lebih bertanggung jawab,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.
Jurnalis : Sutiawan