Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat subak Prof I Wayan Windia menyayangkan minimnya perhatian pemerintah terhadap organisasi pengairan tradisional di bidang pertanian itu yang sudah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia.

“Sementara itu, friksi dan konflik kepentingan sudah mulai muncul di kawasan WBD tersebut,” kata Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana itu di Denpasar, Kamis (5/9).

Guru besar Fakultas Pertanian Unud yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD itu mengatakan, masalah yang muncul itu di antaranya konflik antara subak dengan lingkungannya, seperti terjadi di Subak Jatiluwih, Kabupaten Tabanan.

Petani yang terhimpun dalam wadah Subak merasa dipinggirkan karena kalangan komponen pariwisata yang berdiri di sekitar kawasan subak WBD, tidak memberikan kontribusi kepada subak bersangkutan.

Padahal komponen pariwisata memanfaatkan kawasan subak sebagai pemandangan alam daya tarik bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara berkunjung ke daerah itu.

Untuk itu Windia mengharapkan Pemerintah Provinsi Bali maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat memfasilitasi terbentuknya forum koordinasi antar stakeholders di setiap kawasan WBD di Pulau Dewata.

Selain itu juga mengharapkan Pemprov Bali maupun Pemkab dan Pemkot di Bali segera membentuk Dewan Pengelola WBD Provinsi Bali di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam diskusi terfokus Pengelolaan WBD di Bali yang berlangsung selama 2-6 September 2013 melibatkan 25 peserta utusan dari seluruh daerah di Bali dan sebelumnya juga digelar diskusi pada masing-masing kawasan WBD di Bali.

Ikut sebagai narasumber Prof Purwanto dari Lembaga Ilmu Pengertahuan Indonesia (LIPI) dan Napitupulu dari Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta.

Yunus Arbi MA dari Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, pihaknya sependapat perlunya segera dibentuk wadah kooordinasi pada semua kawasan (site) yang ditetapkan sebagai WBD oleh UNESCO.

UNESCO tahun depan akan melakukan inspeksi terhadap kawasan yang telah ditetapkan sebagai WBD. Mereka ingin melihat dari dekat seberapa jauh rencana pengelolaan yang dulu diusulkan ke UNESCO telah direalisasi.

Jika pemerintah tidak melakukan tindakan nyata terhadap kawasan WBD, dikhawatirkan UNESCO akan memberikan peringatan kepada Indonesia.

“Hal itu jangan sampai terjadi sehingga pemerintah di Bali perlu sedini mungkin mengantisipasi dengan melakukan tindakan nyata” ujar prof Windia.

Sementara itu di dunia maya sudah mulai ada laporan bahwa pemerintah tidak ada respon yang nyata terhadap kawasan yang ditetapkan UNESCO sebagai WBD.

Windia menekankan bahwa petani dan subak adalah lembaga utama dan vital dalam penetapan UNESCO. Oleh sebab itu petani dan subak harus mendapatkan perhatian dan perlindungan yang nyata.

“Dengan demikian petani akan merasa senang dan bangga sebagai petani, dan akhirnya subak di Bali akan abadi. Khususnya subak yang menjadi WBD di Jatiluwih dan sekitarnya di Tababan, dan Subak Pulagan dan sekitarnya di Gianyar,” ujarnya. AN-MB