Nicolaus-Pira-Bunga-300x258 (1)

Kupang (Metrobali.com)-

Pengamat hukum dan politik Universitas Nusa Cendana Kupang Nicolaus Pira Bunga menilai inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempertemukan calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo pada Minggu (20/7), setelah buka puasa merupakan langkah yang tepat.

Pertemuan yang sedianya berlangsung di Istana Negara itu diharapkan dapat menurunkan tensi politik yang saat ini benar-benar memanas di kalangan elite dan dampaknya mulai terasa hingga ke kalangan menengah ke bawah,” katanya di Kupang, Minggu (20/7).

Menurut dia, jika hawa panas akibat gesekan politik elite terasa benar di tingkat bawah, maka suasana yang kondusif selama ini bisa saja berubah menjadi gaduh, sehingga perlu langkah tepat untuk mencegahnya.

“Pencegahan agar tidak adanya gaduh politik itu yang tepat adalah dimulai dari pimpinannya dalam hal capres dan cawapres untuk selanjutnya kedua calon pemimpin bangsa ini yang menenangkan tim pendukung dan ini akan lebih mudah ketimbang dengan cara lain,” katanya.

Jadi menurut Pira Bunga, tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengimplementasikan filosofi/filsafat kepemimpinan diibaratkan dengan seekor ikan dimana kalau di kepala ikan busuk, maka ke bawahnya juga busuk atau sebaliknya apabila kepala ikan sehat, maka selanjutnya juga sehat dan aman dikonsumsi.

“Jadi kalau dua pasang calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, serta Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan iklas saling menerima kekalahan dan kemenangan dengan demikian juga akan diikuti para pendukung di pusat hingga ke daerah,” katanya.

Karena itu semua pihak harus mendukung langkah elegan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ingin melepas kepemimpinan nasional yang dikendalikan selama 10 tahun dengan aman dan damai seperti sedia kala.

“Kita tentunya tidak ingin hanya klaim kemenangan Pemilihan presiden 2014 oleh dua kandidat capres cawapres hingga membawa suasana panas dalam demokrasi Indonesia. Apalagi jika isu bakal adanya kaos alias kerusuhan saat penetapan rekapitulasi suara berjenjang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Juli 2014 benar menjadi kenyataan,” katanya.

Situasi dan momentum inilah peran Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI dipertaruhkan, sebab apabila seperti dikatakan Rektor Universitas Islam Negeri atau UIN Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat mengatakan, bahwa jika penyelenggaraan Pilpres 2014 damai dan lancar, masyarakat internasional akan memberi apresiasi luar biasa. Sementara di dalam negeri, kata Komar, rakyat pun kian percaya dengan politik.

Namun, jika transisi kepemimpinan gagal, yang terjadi sebaliknya. Lebih-lebih, rakyat tidak lagi percaya politik. “Dan ingat, prestasi demokrasi yang berjalan damai selama ini akan rusak di ujung karier Pak SBY. Makanya Pak SBY punya kewajiban konstitusional bersama KPU menunjukkan ke rakyat Indonesia dan dunia bahwa kami bisa menyelenggarakan Pilpres dengan jurdil, damai dan transparan,” ujar dia saat ditemui wartawan di Kantor DPP Hanura, Jakarta Pusat, Sabtu (19/7/2014) malam.

“Ini pertaruhan presiden agar bangsa kita ini dipandang dunia. Mereka akan dikenang mengantarkan demokrasi dan mengakhiri transisi kepemimpinan dengan baik atau tidak,” sambung Komar.

Menurut Pira Bunga, momentum rekap suara nasional dan pengumuman hasilnya oleh KPU Pusat juga merupakan kesempatan bagi dua capres Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK untuk membuktikan janji yang diucapkan saat deklarasi kampanye damai untuk siap kalah dan siap menang.

“Publik saat ini setelah melihat suasana dan suhu politik memanas mereka mengingat janji itu dan menagihnya untuk diimplementasikan. Jangan sampai hanya sebatas ucapan untuk senang sesaat. Ini yang apabila disejajarkan dengan penyataan cendikiawan Komaruddin, bahwa akan ada ketidakpercayaan terhadap politik bisa terjadi, karena elit justru yang menunjuk teladan tidak baik,” katanya.

Dan memang elite politik di Indonesia merupakan salah satu pihak yang turut bertanggung jawab dalam menciptakan suasana dan kondisi demokrasi yang sejuk, atau bahkan sebaliknya, membara. Elite politik dianggap menjadi penentu keutuhan bangsa. Maka itu, elite politik harus mengembalikan suasana demokrasi menjadi sejuk kembali.

Dalam konteks ini katanya Sikap negarawan yang dibutuhkan legawa. Dan parameternya akan dilihat pada 22 Juli, apakah politisi kita negarawan apa pemburu kekuasaan. Kalau negarawan, mereka akan menerima baik. Kalau ribut-ribut, ketahuan mereka itu pemburu kekuasaan. AN-MB