Pilkada (2)

Jakarta (Metrobali.com)-

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perpu Pilkada) diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Perpu No.1/2014 merupkan perubahan atas UU No.22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perpu No. 2/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut disahkan menjadi UU oleh DPR RI.

Tidak ada penolakan, tanpa perdebatan, dan tiada “walkout” dari anggota parlemen.

Kondisi yang berbeda 180 derajat ketika DPR menyetujui pengesahan RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang (UU No. 22/2014) dan RUU tentang Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang (UU No.23 Tahun 2014) pada bulan September 2014.

Persetujuan diberikan oleh 422 anggota DPR yang hadir dalam papripurna pada hari Selasa, 20 Januari 2015, memuluskan jalan perpu yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Oktober 2014.

Meski dalam keputusan DPR tersebut masih menyisakan satu perihal penting revisi perbaikan sejumlah pasal dalam perpu tersebut.

Sebuah pasal yang bisa saja “kembali” menjerumuskan pilkada ke dalam kepentingan elite partai politik semata bila tidak diawasi dengan benar.

Seperti yang pernah kita lihat sebelumnya. Saat DPR menyetujui pengesahan RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU sebagai perbaikan atas UU No. 12/2008.

Bukan hanya merevisi, melainkan juga mengubah sistem pemilihan kepala daerah yang sebelumnya langsung menjadi tidak langsung.

Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu produk reformasi menuju tatanan yang lebih demokratis yang diterbitkan sebagai pembeda dengan sistem Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Pada masa itu, Golkar merupakan partai dengan mayoritas tunggal sehingga tidak heran bila para kepala daerah berasal dari partai berlambang beringin tersebut.

Reformasi menginginkan demokrasi berlangsung dengan baik. Salah satu upaya untuk meraih tatanan yang demokratis adalah mendorong partisipasi masyarakat melalui pemilihan secara langsung.

Alasan pilkada langsung lebih ditujukan sebagai upaya demokrastisasi di tingkat bawah dengan mendorong partisipasi masyarakat. Masyarakat dapat secara langsung memilih pemimpinnya.

Pemilihan kepala daerah langsung baru diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah setelah enam tahun reformasi berjalan. Undang-undang ini merupakan perbaikan atas UU No. 22/1999.

Pemilihan kepala daerah pertama kali dilaksanakan oleh Kabupaten Kuta Kertanegara di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2005.

Pemilihan kepala daerah secara langsung kemudian dimasukan dalam rezim pemilihan umum dalam UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan disebut “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Pemilukada pertama yang diselenggarakan setelah terbitnya UU tersebut adalah Pemilukada DKI Jakarta 2007.

Mendekati pemilihan umum 2009, DPR melakukan revisi dalam pemilihan kepala daerah langsung yang memunculkan UU No. 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU tersebut, calon kepala daerah dapat diusulkan oleh masyarakat (calon independen) tidak hanya partai politik, sesuai dengan ketetapan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.

Untuk memperbaiki pilkada, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012 memasukkan RUU Pemilihan Kepala Daerah sebagai salah satu usulan yang akan dibahas DPR.

Kekuatan Massa Pemerintah menjadi pengusul RUU Pilkada. Salah satu usul pemerintah dalam RUU tersebut adalah pemilihan kepala daerah tidak langsung di tingkat provinsi, sementara untuk kota madya dan kabupaten, tetap langsung.

Usulan tersebut berkembang. Namun, konstelasi politik belum begitu menghangat. Pada tahun 2013, meskipun dibicarakan, belum menjadi perhatian khusus masyarakat.

Perubahan konstelasi politik terjadi justru seusai dengan pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI pada tahun 2014. Perkembangan isu terkait dengan pemilihan kepala daerah berubah dengan cepat.

Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PKS, PPP, dan PAN) mendorong lebih jauh agar pilkada melalui DPRD diberlakukan di seluruh tingkat pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota madya. Fraksi Demokrat juga sepakat terkait hal ini.

Dengan komposisi lima parpol tersebut, KMP diperkirakan menguasai mayoritas DPRD di provinsi, kabupaten, dan kota madya.

Sementara itu, Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, dan Hanura) menolak tegas RUU tersebut.

Sementara itu, masyarakat berdemonstrasi menolak pilkada via DPRD. Para demonstran menyatakan bahwa pilkada melalui DPRD sebagai membajak demokrasi dan menjadikan elite sebagai raja-raja daerah dan mengebiri suara rakyat.

Posisi pemerintah menyatakan tetap melanjutkan pembahasan undang-undang tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tetap menilai pilkada melalui DPRD lebih baik daripada pilkada langsung selama ini telah mengakibatkan terjadinya konflik horizontal. Selain itu, biaya pilkada langsung juga relatif sangat tinggi dan tidak efisien.

Namun, anehnya seiring dengan gerakan demonstrasi dan melalui aksi di media sosial yang meningkat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbeda pandangan dengan Kementerian Dalam Negeri.

Melalui YouTube, SBY mengatasnamakan Ketua Partai Demokrat menolak pilkada melalui DPRD. Bahkan, SBY juga beberapa kali menyatakan hal itu dalam sejumlah acara.

Melalui drama politik “walkout” oleh Partai Demokrat, akhirnya UU Pilkada disahkan pada bulan September 2014 dengan kemenangan KMP. Pilkada melalui DPRD.

Gerakan massa di jalanan untuk menolak pilkada melalui DPRD makin meningkat. Begitu pula, di media sosial.

Presiden SBY kala itu dijadikan bulan-bulanan di media sosial. Tagar #ShameOnYouSBY# memenuhi kicauan di twitter.

Setelah berbagai tekanan dari masyarakat dan para aktivis demokrasi, Presiden dalam hitungan hari menerbitkan perpu untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah langsung pada tanggal 2 Oktober 2014.

Presiden SBY memperoleh beragam pujian. Begitu pula, masyarakat di media sosial. Tagar #TerimakasihSBY# juga memenuhi kicauan para pengguna twtter.

Pilkada langsung dikembalikan. AN-MB