Pemimpin yang Semakin Kehilangan Sikap Kebersahajaan, Menonjolkan dan Memamerkan Keakuan
Badung, (Metrobali.com)
Beredar luas di medsos, Menteri Keuangan India Ny.Nirmala Sitaraman setiap hari pergi ke kantor naik MRT tanpa pengawalan dan tanpa asisten. India menurut berita di medsos, besaran nilai ekonominya US Dolar 4 Triliun, 4 kali dari besaran ekonomi Indonesia, kapitalisasi saham US Dolar 5 T, dengan cadangan cadangan devisa US Dolar 500 M. Berbeda jauh dengan gaya hidup para menteri di negeri ini, diiringi pengawal plus ajukan, lengkap dengan vorijder yang bising, yang membuat lalu lintas semakin macet. Sangat kontras dengan cara hidup Menkeu India di atas.
Prilaku di jalanan ini, melahirkan persepsi publik sebagai sikap arogan, sombong dan tidak punya empati pada rakyat.
Berbeda jauh, tamsilnya “jauh panggang dari api” dengan keteladanan Bapak Ibu Pendiri Bangsa yang umumnya berkarakter: sederhana, bersahaja dengan sikap hidup puritan. Menyebut beberapa, HA Salim, pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain di daerah Petodjo Jakarta Pusat, pada saat pejuang ini sedang berunding dengan pemerintah kolonial Belanda. Cerita Pak Hatta yang telah melegenda, sebagai pensiunan Wakil Presiden tidak mampu membeli sepatu idamannya merk Belly sampai di akhir hayatnya. Semasa pensiun menjadi Wakil Presiden, pernah mengalami kesulitan untuk membayar abonemen listriknya.
HA Salim dalam sebuah kesempatan menyatakan menjadi pemimpin harus siap menderita. Berbeda jauh dengan keadaan sekarang, menjadi pejabat publik harus kaya, tidak terlalu peduli dari mana kekayaan diperoleh, dan kemudian dipamerkan ke publik. Juga tidak terlalu peduli dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka.
Timbul pertanyaan, kenapa fenomena pemimpin “sok kuasa” ini muncul secara massif, di tengah kehidupan rakyat yang hidup pas-pasan (hidup marginal).
Jawaban spekulatifnya, bisa saja, pertama, lemahnya kontrol sosial, sehingga kecenderungan kekuasaan yang salah guna (baca korupsi), menjadi biasa’biasa saja, ketagian, tanpa rasa bersalah dan rasa malu. Kedua, munculnya neo feodalisme di era post modern, ingin diperlukan “bak raja”, penuh sanjungan dan anti kritik. Ketiga, politik telah menjadi bagian dari industri kekuasaan, lengkap dengan sikap transaksional dan “money politic”, sehingga tidak ada komitment moral dalam menjalankan pekerjaannya, karena telah diselesaikan dalam model transaksi jual beli.Keempat, dari perspektif etika – moral, mereka yang mengalami kemiskinan jiwa, menkompensasikan dengan bentuk fisik luar: atribut kekuasaan: pangkat, jabatan, kekayaan, tanpa rasa bersalah dan rasa malu. Kelima, mereka yang sudah merasa kaya batinnya dengan menjalankan panggilan ptofesinya, tidak perlu lagi atribut luar, sebagai bentuk pemenuhan akan aktualisasi diri. “The founding fathers” mewariskan keteladanan ini.
Risiko dari sebuah bangsa yang a historis, tidak mau belajar sejarah, sehingga tamsilnya, “layaknya srigala yang tersungkur dalam lubang yang sama berkali-kali.
I Gde Sudibya, pengamat sosial ekonomi.