Prof Windia

Denpasar (Metrobali.com)-

Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana mengingatkan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota jangan merasa kehilangan atas wacana pemerintah pusat menghapuskan pajak bumi dan bangunan (PBB).

“Jika pemerintah (daerah) merasa kehilangan PAD dari penghapusan pajak PBB, mungkin bisa dilakukan dengan membuat perda tentang Pajak Bangunan (PB),” kata Prof Windia di Denpasar, Selasa (24/3).

Ia mengatakan, dengan memiliki perda pajak bangunan tersebut bisa saja mengenakan pajak yang tinggi terhadap bangunan komersial, dan perusahaan yang mengambil air tanah dari sumur dalam.

“Sebaliknya jangan mengenakan pajak pada bumi, karena bumi (sawah), telah berjasa memberikan oksigen, menahan banjir, menghadirkan pemandangan alam, dan sebagai media aktivitas kebudayaan,” ujar Prof Windia.

Ia menyayangkan, mengapa lahan yang memberikan manfaat yang demikian tinggi, harus lagi dikenakan pajak. Dengan adanya kebijakan pemerintah menghapus PBB, pihaknya yakin alih fungsi lahan sawah akan dapat dikendalikan.

“Dalam mempersiapkan proposal untuk UNESCO saat mengusulkan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD), memang tercermin sikap petani seperti itu,” ujarnya.

Bahwa 40 persen dari petani-responden mengungkapkan bahwa mereka menjual sawah karena adanya tekanan pajak PBB.

“Barangkali sekarang perlu ada tekanan politik, agar pemerintah segera menghapuskan pajak PBB,” harap Prof Windia.

Pihaknya memberikan apresiasi terhadap wacana pemerintahan Joko Widodo menghapus penarikan Pajak Bumi dan Bangunan, seperti halnya dulu pemerintah menghapus pajak sepeda angin dan pajak radio.

Hal itu tentu didasarkan atas pertimbangan penarikan PBB tidak signifikan sebagaimana pajak sepeda angin (ontel) dan pajak radio yang telah cukup lama dihapuskan.

“Peranan pajak sepeda dan pajak radio sama sekali tidak signifikan. Kalau hal yang serupa terjadi pada pajak PBB, kenapa pajak PBB tidak segera dihapuskan,” ujarnya.

Untuk itu, pemerintahan Presiden Jokowi harus segera menghapus UU No. 12 tahun 1985 sebagaimana diubah menjadi UU No. 12 tahun 1994, tentang PBB. UU pajak itu menekan kaum miskin dan memberi peluang orang kaya menjadi semakin kaya.

“Hampir semua penelepon ketika saya tampil sebagai pembicara dalam sebuah diskusi di sebuah stasiun televisi menyambut gembira wacana penghapusan pajak PBB,” ujarnya seraya menambahkan lebih-lebih kalangan petani yang dirugikan selama beberapa dekade terakhir.

Penerapan pajak PBB menekan kaum petani, namun mereka tidak memiliki suara yang keras untuk menyampaikan keluhannya. Hingga saat ini, tidak ada organisasi petani dan nelayan yang cukup kuat, yang langsung dipimpin oleh petani atau nelayan.

Hingga saat ini baru ada Himpunan Kontak Tani Indonesia (HKTI) dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang pemimpinnya, umumnya dari kalangan mantan birokrat.

Kondisi itu berbeda dengan kaum buruh yang memiliki organisasi yang kokoh, bahkan mampu melakukan pembelaan diri, ujarnya. AN-MB