uang 1

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerintah akhirnya menunjukkan upayanya untuk menekan defisit transaksi berjalan dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan pada Senin (16/3).

Pemerintah menyadari harus mengambil langkah untuk memperbaiki perekonomian yang dilanda pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan bertujuan memperbaiki kinerja neraca perdagangan dan neraca jasa, yang selama ini dominan menjadi penyumbang defisit neraca transaksi berjalan.

Defisit transaksi berjalan yang melebar merupakan masalah internal yang harus dibenahi pemerintah, karena ikut memberikan dampak negatif terhadap rupiah, agar fundamental ekonomi tetap terjaga dan tidak rapuh dalam menghadapi tekanan ekonomi global.

Langkah yang diambil pemerintah itu direspons beragam oleh sejumlah kalangan. Sebagian menyambut baik karena menilai kebijakan itu menunjukkan bahwa pemerintah serius mereformasi perekonomian sehingga bisa menjadi sentimen positif bagi penguatan rupiah.

Namun, yang lain menganggap kebijakan itu lebih berdampak dalam jangka panjang, padahal penguatan rupiah membutuhkan kebijakan yang berdampak jangka pendek.

Dalam kebijakan barunya, pemerintah memberikan fasilitas pajak atau “tax allowance” untuk perusahaan yang melakukan investasi di Indonesia, perusahaan yang menciptakan lapangan kerja kemudian perusahaan yang berorientasi “export oriented” dan perusahaan yang melakukan penelitian dan pengembangan.

Pemerintah juga memberikan insentif pajak kepada perusahaan galangan kapal dan juga perusahaan yang memproduksi alat pertanian.

Selain itu, pemerintah melakukan kebijakan tentang antidumping dengan mengenakan bea masuk antidumping sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk industri impor yang “unfair trade” karena ada dumping dalam rangka melindungi industri dalam negeri.

Di sektor industri pariwisata, jika selama ini Indonesia sudah memberikan visa bebas kunjungan singkat bagi wisatawan dari 15 negara, maka mulai April 2015 terdapat 30 negara baru yang akan mendapatkan fasilitas tersebut.

Di bidang pengelolaan tambang dan sumber daya alam, pemerintah juga akan menerapkan kebijakan penggunaan Letter of Credit (L/C) bagi usaha-usaha pertambangan seperti batu bara, migas dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).

Pemerintah juga mendorong peningkatan penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10 persen menjadi hingga 15 persen.

Selain itu, pemerintah mendorong perbaikan struktur perusahaan reassuransi domestik untuk mendorong tumbuhnya sektor tersebut. Pemerintah mendorong BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa khususnya asuransi.

Pemerintah juga meningkatkan penegakan hukum untuk mendorong implementasi Undang-undang (UU) Mata Uang yang mewajibkan penggunaan rupiah di dalam negeri.

Efektif Wakil Ketua Komisi XI DPR Gus Irawan Pasaribu menilai paket kebijakan ekonomi dikeluarkan pemerintah akan efektif untuk mempercepat reformasi struktural perekonomian, karena beberapa kebijakan itu dilandasi tujuan untuk mendorong industri berorientasi ekspor.

Selain stimulus bagi kinerja ekspor, skema insentif pajak dari pemerintah seharusnya dapat meningkatkan aliran investasi asing langsung untuk menumbuhkan sektor riil.

Di sisi lain, dengan penggelontoran insentif fiskal, pemerintah dapat mendorong upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan pajak, yang ditargetkan naik 30 persen menjadi Rp1.290 triliun pada 2015.

“Saya melihatnya, skema insentif ini akan mendorong dunia usaha secara luas. Dengan begitu, seharusnya pemerintah juga menyambutnya, salah satunya dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan mendorong naiknya peneimaan,” katanya.

Legislator dar Fraksi Partai Gerindra ini juga menyoroti kebijakan peningkatan penggunaan biofuel hingga 15 persen, yang diharapkan dapat mengurangi tekanan impor minyak untuk BBM, yang hingga kini masih terasa di neraca perdagangan sektor migas.

“Namun, untuk biofuel, perlu ada penjelasan juga apakah kebijakan pada era Presiden SBY, salah satunya kredit pemberdayaan energi nabati atau revitalisasi perkebunan, diteruskan atau tidak, bagusnya sih diteruskan,” ujarnya.

Gus menyebutkan kebijakan tersebut membutuhkan upaya peningkatan produksi biofuel. Oleh karena itu, dia minta pemerintah untuk memastikan kesiapan industri biofuel, yang banyak dihasilkan dari produksi minyak sawit mentah untuk mencukupi permintaan.

Gus meyakini peningkatan penggunaan biofuel tersebut akan menghemat devisa karena pengurangan impor, yang akhirnya akan berdampak positif pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Neraca perdagangan, selain neraca jasa, modal dan pendapatan, menjadi kontributor bagi neraca transaksi berjalan. Pada 2013, defisit transaksi berjalan tercatat 29,1 miliar dolar AS atau 3,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sementara itu Direktur Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menilai,paket kebijakan ekonomi itu tidak akan mampu mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena paket itu lebih bersifat jangka panjang, dan dampaknya tidak lantas bisa dirasakan dalam waktu satu hingga dua bulan kemudian.

Menurut dia, pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang sedianya dapat dirasakan masyarakat dalam waktu cepat. Misalnya, penurunan tarif dasar listrik yang dampaknya tentu akan dapat dirasakan langsung masyarakat dan pelaku usaha.

“Jadi insentif bisa langsung dirasakan pelaku usaha. Kalau paket kebijakan itu tidak langsung bisa dinikmati,” katanya.

Dani menegaskan, depresiasi yang terjadi terhadap rupiah ini butuh tindakan cepat sebab pelemahan tersebut semata-mata terjadi karena persepsi fundamental makro ekonomi Indonesia yang lemah.

“Ini terjadi karena pembayaran utang jatuh tempo besar, kinerja ekspor jeblok. Menurut saya harus cepat ditangani, enggak bisa dilakukan dengan kebijakan yang dampaknya baru terasa enam bulan atau setahun,” katanya.

Pemerintah seharusnya memberikan insentif pelaku usaha yang dampaknya dapat menguatkan sektor riil Indonesia serta menjaga stabilitas harga di masyarakat. “Sehingga dampaknya tidak merembet kepada kerusuhan politik,” kata Dani.

Sedangkan pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menilai paket kebijakan ekonomi paket kebijakan ekonomi itu belum cukup untuk menguatkan nilai tukar rupiah secara stabil. “Meski paket kebijakan ekonomi ini berlaku, tapi rupiah akan tetap mengalami gejolak,” katanya.

Ia melihat ada beberapa aturan perundangan di bidang keuangan dan perdagangan yang tidak konsisten dan tidak sinergis sehingga perlu diperbaiki. Aturan perundangan itu antara lain, UU No 24 tahun 1999 tentangLalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kedua perundangan ini perlu direvisi. AN-MB