Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Sebatas himbauan plus pencitraan, barangkali dengan latar belakang bawah sadar, himbauan diberikan, permasahan di lapangan rampung. Timbul pertanyaan, siapa yang melakukan pengawasan di lapangan day to day, dengan kemampuan komunikasi yang baik dalam perspektif pelayanan yang sempurna? Apa ada media independen untuk melakukan kontrol, merepresentasi kepentingan publik?

Menanggapi aturan atau himbauan bertubi tubi yang diumumkan Pemprov Bali untuk wisatawan, pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, Jumat 9 Juni 2023 mengatakan, kesannya pengaturan pariwisata menjadi super ribet, padahal dalam leissure industry, kemudahan dan kenyamanan merupakan persyaratan inti.

Dikatakan, mewajikan pembayaran dengan lokal karensi, bisa membuat ribet bagi wisatawan dan juga menggelikan, dalam sistem pembayaran internasionl yang maju begitu kencang, sistem pembayaran kita ketinggalan. “Ini tidak ada hubungan dengan nasionalisme, menyangkut kecerdasan merespons perubahan dalam sistem pembayaran,” kata Jro Gde Sudibya yang juga pengamat ekonomi dan pariwisata.

Menurut Gde Sudibya, etik bagi wisatawan (traveller ethics), berlaku umum di seluruh dunia, dibuat sederhana, komunikatif berspektif pelayanan, dalam bahasa ringkas dengan waktu pendek. Umumnya disampaikan oleh para guide di atas mobil menuju penginapan, dan juga di depan lobi hotel sebelum chek in.

“Timbul pertanyaan apakah guide kita sudah punya kapasitas seperti ini, penyegaran pelatihan kepada mereka, pengawassn dan sanksinya kalau melakukan pelanggaran?,” tanya Jro Gde Sudibya.

Dikatakan, sudah semestinya Pemda Bali dalam pengelolaan pariwisata, tidak reaktif dan kreatif merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif, terimplementasikan di lapangan. Memperhatikan tali temali kompleksitas totalitas jasa pelayanan di sektor ini.

Gubernur, DPRD dan tim ahli, kata Jro Gde Sudibya supaya belajar dari curve pariwisata Bali yang telah berlangsung sekitar 50 tahun. (Adi Putra)