IMG_20151112_113556-1

Badung, (Metrobali.com) –

Menutup akhir tahun 2015, dan sekaligus mengawali 2016, Nyoman Dhamantra, Anggota DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Perseorangan ke Daerah Pemilihan (Dapil) Bali, ke sejumlah Peiketan Keluarga (Dadia) seperti Bhujangga Wesnawa (Denpasar), Pasek Gel-Gel  (Gianyar), dan Bendesa Manik Mas (Badung). Dalam pertemuan tersebut juga dihadiri para tokoh adat dan pimpinan desa setempat. Kunjungan ini sekaligus dalam menyerap aspirasi rakyat (Reses) untuk Masa Persidangan II Tahun Sidang 2015-2016.

Dalam kesempatan tersebut, Nyoman Dhamantra mengingatkan pada pemerintah, pelaku usaha dan rakyat untuk tidak panik menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2016 pekan lalu. Sudah disepakati tahun 2003, dan Bali sebagai tuan rumah. Sehingga integrasi sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menjadi basis produksi dan pasar bersama ini memang tak bisa lagi ditunda.

Sehingga, dengan berlakunya MEA, era kompetisi “bebas” di tingkat lokal, nasional dan regional telah dimulai, yang tidak lagi berbau kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dengan dibukanya pasar, tak ada lagi proteksi buat pelaku bisnis. Arus modal, barang, dan jasa dari sesama negara ASEAN bisa masuk ke Indonesia tanpa hambatan. Siapa lebih kompetitif, dia yang menang.

Untuk itu, produktivitas orang Bali, dan sudah tentu Indonesia harus lebih unggul. “Kemampuan perajin Bali untuk memproduksi kerajinan garmen, perak dan sebagainya harus lebih baik dibandingkan dengan Vietnam, atau Thailand misalnya. Produksi beras dan produk pertanian lain di Badung, Denpasar ataupun Gianyar harus lebih efisien ketimbang petani di Myanmar, dan seterusnya. Bali punya sakti, atau taksu, yang harus dilestarikan dan diberdayakan melalui Paiketan Dadia dan Adat dalam Program Pemberdayaan Desa, sebagai wujud implementasi UU Desa” tegas Nyoman Dhamantra.

Harus diakui, Bali masih tertinggal. Misalnya, hal ini bisa dilihat dari indikator ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses perbankan. Menurut data, per 2014, Indonesia hanya menggunakan listrik 730 kilowatt per hour (kWh) per orang. Itu pun byar-pet. Pada saat yang sama, konsumsi listrik per kapita warga Malaysia sudah diatas 4.000 kWh. Jangan bandingkan dengan Singapura, yang penggunaan listrik mencapai 9.000 kWh per kapita.

Belum lagi soal akses perbankan. Di Malaysia, 81 persen warganya yang berusia 15 tahun ke atas punya rekening bank. Adapun di Filipina hampir 60 persen. Bandingkan dengan Indonesia, yang hanya 36 persen warganya punya rekening bank. “Namun, Bali punya Lembaga Perkreditan Desa (LPD), dimana hampir semua warga pekraman/adat menjadi anggotanya. Kelembagaan ini harus diperkuat, dan didorong dalam mendanai program-program kreatif di desa, termasuk dalam menciptakan Ketahanan Energi Desa,” jelas Dhamantra, lebih jauh.

Sekali lagi, Nyoman Dhamantra berharap Bali tidak pesimistis. “Bali masih punya harapan, mengingat Bali, dan segenap wilayah Indonesia mempunyai kekayaan budaya yang unik dan beragam, dapat menjadi basis industri pariwisata. Dari 622 juta orang di Asia Tenggara, 250 juta ada di Indonesia. Dari total ekonomi ASEAN yang bernilai US$ 2,6 triliun, proporsi ekonomi pariwisata adalah yang terbesar. Ini harus dimanfaatkan dan di rebut kuenya, mulai dari Bali,” ajak Nyoman Dhamantra.

Bali sudah punya modal untuk membalikkan keadaan dan memenangi kompetisi pada babak selanjutnya. Terbukanya gerbang Bali tak hanya berarti masuknya produk (impor) barang dan jasa, tapi juga ekpor produk dan jasa. Kucuran dolar dibutuhkan untuk menggenjot kapasitas infrastruktur, diversifikasi basis produksi dari komoditas dan energi menjadi manufaktur, serta memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Harus dilakukan dengan menjaga kelestarian dan keberlanjutan Bali. Jika pemerintah kabupaten/kota, serta provinsi bisa fokus meningkatkan produktivitas pelaku usaha di Bali, MEA akan menjadi babak awal kisah sukses ekonomi Bali, dan sudah tentu Indonesia. JKR-MB