bbm

Jakarta (Metrobali.com)-

Masyarakat khususnya pengendara kendaraan bermotor mendapat kado mengejutkan dari pemerintah saat sedang merayakan Lebaran Idul Fitri 1435 Hijriah.

Kado tersebut adalah diberlakukannya penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi premium dan solar. Itu berarti pengendara kendaraan bermotor harus membeli BBM nonsubsidi yang harganya tentu lebih mahal ketimbang BBM bersubsidi.

Sekalipun pembatasan BBM tersebut masih “longgar” karena hanya dilakukan di sejumlah titik atau lokasi, tetap saja yang namanya pembatasan BBM bersubsidi mengejutkan masyarakat.

PT Pertamina (Persero) berdalih mulai membatasi penjualan BBM subsidi untuk menjaga konsumsi tidak melebihi kuota APBN Perubahan 2014 sebesar 46 juta kiloliter.

Wakil Presiden Komunikasi Pertamina Ali Mundakir di Jakarta beberapa waktu lalu, mengatakan pembatasan tersebut sesuai dengan Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014.

“Kami akan mulai mengimplementasikan pembatasan BBM bersubsidi yang dimulai solar per 1 Agustus 2014 di wilayah Jakarta Pusat,” katanya.

Selanjutnya, mulai 4 Agustus 2014, penjualan solar bersubsidi di SPBU di wilayah tertentu di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali akan dibatasi pada pukul 08.00-18.00 waktu setempat.

Wilayah tertentu tersebut difokuskan pada kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan sekitar pelabuhan yang rawan penyalahgunaan solar bersubsidi.

“Sementara itu, SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar,” katanya.

Untuk wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu penjualan solar seperti Batam, Bangka Belitung, dan sebagian besar Kalimantan tetap dilanjutkan sesuai aturan daerah setempat.

Kemudian, tambah Ali, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan juga akan dipotong 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 ton.

Mulai 6 Agustus 2014, lanjut dia, seluruh SPBU di jalan tol tidak menjual premium bersubsidi dan hanya menyediakan pertamax.

Total SPBU di jalan tol mencapai 29 unit yang 27 di antaranya berada di Jakarta, Banten, dan Jabar, serta dua unit di Jatim.

“Kami pastikan lagi pasokan BBM nonsubsidi, yakni pertamax, pertamax plus, dan pertamina dex tersedia secara cukup di seluruh SPBU,” katanya.

Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Edy Hermantoro dan Kepala BPH Migas Andy N Sommeng mengatakan bahwa Pemerintah akan melakukan pengendalian agar kuota BBM mencukupi 46 juta kiloliter.

Pertamina memperkirakan tanpa dilakukan pengendalian maka kuota solar subsidi akan habis pada tanggal 30 November dan premium hanya cukup sampai 19 Desember 2014.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2014 tentang APBN Perubahan 2014 telah mengamanatkan pengurangan kuota BBM bersubsidi dari 48 juta menjadi 46 juta kiloliter.

Untuk menjalankan amanat UU tersebut, BPH Migas telah mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan solar dan premium agar kuota 46 juta kiloliter bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014.

Kementerian Keuangan juga sudah mengeluarkan surat yang berisi tidak akan membayarkan klaim subsidi atas kelebihan kuota BBM.

Menindaklanjuti kebijakan tersebut PT Pertamina (Persero) Region I menetapkan 133 stasiun pengisian bahan bakar umum di Sumatera Bagian Utara yang akan menerapkan kebijakan pembatasan pelayanan solar bersubsidi.

External Relation PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region I Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) Brasto Galih Nugroho dalam siaran pers mengatakan, sebanyak 133 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) itu tersebar di lima provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.

Di Sumatera Utara, ditetapkan 42 SPBU yang menerapkan kebijakan pembatasan pelayanan solar bersubsidi tersebut dari 315 SPBU yang ada di provinsi itu.

Ke-42 SPBU itu berada di Kota Medan (18 unit), Deliserdang (delapan unit), Langkat (tiga unit), Serdang Bedagai (satu unit), Dairi (satu unit), Karo (satu unit), Simalungung (dua unit), Tanjung Balai (dua unit), Mandailing Natal (dua unit), Padang Lawas (satu unit), Tapanuli Tengah (satu unit), Tapanuli Selatan (satu unit), Sibolga (satu unit).

Di Sumatera Barat diberlakukan di 14 SPBU yakni di Dharmas Raya (dua unit), Pasaman Barat (tiga unit), Sawah Lunto (dua unit), Pesisir Selatan (satu unit), Padang (lima unit), dan Solok (satu unit).

Di Riau 21 SPBU yakni di Rokan Hilir (satu unit), Rokan Hulu (lima unit), Dumai (tiga unit), Indragiri Hilir (tiga unit), Indragiri Hulu (empat unit), Kampar (tiga unit), dan Kuantan (dua unit).

Di Aceh 11 SPBU yakni di Aceh Barat (tiga unit), Aceh Barat Daya (satu unit), Sabang (dua unit), Bener Meriah (satu unit), Gayo Lues (dua unit), Simeulue (satu unit), dan Singkil (dua unit).

Sedangkan di Kepulauan Riau 44 SPBU yakni di Bintan (tiga unit), Karimun (satu unit), Natuna (satu unit), Batam (33 unit), dan Tanjung Pinang (enam unit).

Setelah kebijakan pembatasan pelayanan solar bersubsidi itu diberlakukan di 133 SPBU tersebut, Pertamina juga akan memberlakukan aturan serupa ke seluruh SPBU dalam waktu dekat.

Menurut dia, pemberlakuan kenijakan pembatasan pelayanan solar bersubsidi itu merupakan kelanjutan dari UU 12/2014 tentang Perubahan APBN 2014.

Alternatif Solusi Anggota Komisi VII (Bidang Energi) DPR RI Dewi Aryani memandang perlu Pemerintah memberikan alternatif langkah-langkah solusi bagi pengguna kendaraan terkait dengan pembatasan waktu penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi jenis solar mulai Senin (4/8).

“Jika mengeluarkan peraturan, hendaknya Pemerintah juga memberikan alternatif langkah-langkah solusi bagi pengguna jalan dan kendaraan,” kata Dr Dewi Aryani MSi melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang.

Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu, selama tidak ada solusi alternatif, sama saja Pemerintah hanya bisa melempar masalah dan rakyat diharuskan menanggung akibatnya.

Dewi yang juga wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX menekankan, “Jangan sampai tugas utama Pemerintah sebagai pelayan masyarakat bergeser menjadi pemaksa kebijakan.” Sebelum mengeluarkan peraturan mengenai pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar, anggota Komisi VII itu menyarankan agar Pemerintah melihat sejumlah indikator, di antaranya berapa persen pertumbuhan ekonomi saat ini, kenaikan inflasi, dan kenaikan upah.

“Apakah hal itu sudah memenuhi seluruh unsur yang menjadi indikator Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tersebut saat ini?” kata Duta Universitas Indonesia (UI) untuk Birokrasi Bersih dan Melayani itu.

Dewi mengatakan bahwa Pemerintah belum terlambat jika menarik kembali aturan tersebut dan menerapkannya pada saat yang tepat. Pasalnya, masa angkutan Lebaran 2014 belum berakhir.

Oleh karena itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu meminta Pemerintah mengkaji terlebih dahulu secara menyeluruh, kemudian melakukan uji coba sebelum menetapkan menjadi kebijakan tersebut. AN-MB