Oleh: I Gde Sudibya

Pandemi Covid-19 per 4 Juli telah menjangkiti lebih dari 11 juta orang di seluruh dunia, dengan korban meninggal lebih dari 525 ribu orang. Sejumlah negara dengan angka kasus tertinggi, AS ( 2.7 juta kasus ), menyusul Brasilia, Rusia ( 675,515 kasus ), India ( 648,000 kasus ). Sedangkan Indonesia dengan 62,142 kasus. Kompas ( 5/7 ).

Tingginya jumlah kasus yang melanda dunia, cepat dan massifnya penyebaran dan dampak besar sosial ekonomi yang diakibatkannya, beberapa pengamat berpendapat, pandemi Covid-19 merupakan batu uji dan test case bagi peradaban dan kebudayaan manusia. Daya tahan dan kekenyalannya dalam merespons tekanan krisis holistik yang dibawakan oleh pandemi.
Kualitas peradaban dan kebudayaan sebuah negara bangsa yang kemudian berwujud nyata dalam disiplin, penguasaan teknologi, kualitas organisasi dan kepemimpinan yang menyertainya, persepsinya terhadap krisis dan orientasinya terhadap masa depan, tingkat kohesi sosial yang kemudian menjadi  modal sosial, akan sangat menentukan kecerdasan dan kemudian efektivitasnya dalam melawan pandemi.
Kekuatan kearifan lokal
Pengamat kecendrungan masa depan John Naisbitt mengurai cerdas antara globalisasi ekonomi kehidupan dengan nilai-nilai budaya lokal. Naisbitt menyebutnya dengan Global  Paradox. Di mana paradoks kehidupan global yang bercirikan secara ekonomi menjadi semakin menyatu, pada saat bersamaan terjadi kebangkitan nilai-nilai budaya lokal, dia menyebutnya dengan istilah tribalisme.
Dalam tafsir positif konstruktif, kebangkitan budaya lokal ini, tercermin pada semakin bertumbuhnya  pemikiran, kesadaran dan bahkan gerakan untuk kembali ke kearifan lokal – local wisdoms -.  Dalam era pandemi yang bercirikan pembatasan sosial massif secara global, sehingga ungkapan populer sebelum pandemi: think globally, act locally, dalam realitas sekarang semestinya diubah menjadi:think locally, act locally. Fokus kehidupan:  nilai-nilai dan realitas sosial dimana kita menjadi ” anak kandung ” dari kebudayaan lokal kita sendiri.
Mengulas kembali persepsi waktu manusia Bali dalam 2 kategori. Pertama, Putaran waktu 1 tahun 360 hari yang dibagi dalam 12 bulan/sasih, yang dimulai dari sasih: Kasa, Karo, Ketiga dan seterusnya sampai sasih Kedasa, Jiestha dan Sada. ( Bulan 1 Bali sampai bulan ke 12 ).
Kedua, Putaran waktu 210 hari, waktu pawukon, yang jumlahnya 30 wuku, mulai dari wuku: Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu dan seterusnya sampai wuku: Klawu, Dukut dan Watugunung.
Dalam sejarahnya, persepsi waktu dan manajemen waktu dengan 2 kategori waktu di atas berelasi dengan penyelenggaraan upakara keagamaan dalam masyarakat agraris pertanian dan pengembangan ethos kerja di lahan-lahan pertanian. Terwadahi dalam organisasi: Subak, Banjar dan Desa yang telah historik melegenda.
Kalau dilakukan sebut saja tafsir kekinian  dari dua (2) kategori waktu di atas, dan sejarah,trend wadah organisasi manusia Bali di atas, ada beberapa catatan singkat yang pantas untuk diberikan.
Pertama, Manusia Bali mengalami tekanan waktu yang tinggi, ” tekanan ” Wuku dan Sasih, dan kemudian meresponsnya dalam bentuk: ritme dan kecepatan kerja yang lebih tinggi, mengasah ketrampilan kerja berkelanjutan ( proses ini merupakan kebanggaan bagi manusia Bali ), yang “hilirnya” produktivitas kerja yang tinggi.
Kedua, Profesi dengan ketrampilan kerja lebih dari satu,  multi tasking, merupakan kelaziman dan kebanggaan. Contoh: seorang Pemangku Jan Bangul Ida Bhatara yang mumpuni, sekaligus petani yang tangguh. Seorang penari kawakan, sekaligus petani sangat trampil dalam mengelola kebunnya. Seorang perbekel terpandang dan berwibawa di desa, seorang pengawi yang trampil dengan wawasan luas, plus sebagai petani dengan pengelolaan perkebunan yang baik.
Ketiga, Kualitas organisasi sosial manusia Bali, hasil resultante/perkawinan dari sejumlah faktor: kualitas kepemimpinan, derajat keterikatan sosial dan keyakinan keagamaan yang telah menjadi nilai-nilai budaya yang membumi.
Tantangan dan persoalannya kini, nilai-nilai dan ethos kerja di atas, memudar dan mengalami kemerosotan. Tantangan yang harus dijawab oleh manusia Bali kini, setelah lebih dari 1300 tahun diletakkan dasar dan fondasi  peradaban dan kebudayaan Bali oleh Rsi  Markendya dan rombongan.
Pandemi Covid-19 telah “menantang” manusia Bali kini, tantangan dan ujiannya, seberapa tangguh manusia Bali terutama para pemimpinnya melakukan kapitalisasi nilai budaya dan ethos kerja tangguh di atas, yang kemudian sejarah akan mencatat apakah generasi manusia Bali kini menjadi penyelamat peradaban dan kebudayaan Bali yang diwariskan oleh para lelehur yang sangat dihormatinya, atau justru ” menenggelamkannya”.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu, The Hindu Centre, Ketua FPD.( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.