Barcelona, (Metrobali.com) –

Palang Merah Internasional menilai pekerja bantuan seringkali gagal untuk menyelamatkan korban dari risiko bencana alam karena mereka mengabaikan budaya dan keyakinan agama yang diyakini masyarakat setempat serta memaksakan pandangan luar untuk diterapkan.

“Meski sebuah organisasi tertarik dalam mencegah bencana alam atau berbagai risiko lainnya, mustahil jika mereka dapat bekerja dengan baik kecuali mereka mengakui dan memahami budaya setempat,” berdasarkan laporan tahunan bencana dunia dari Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC).

Ketika Ebola muncul di Afrika Barat tahun ini, virus tersebut mampu menyebar begitu cepat karena ada pemandian jenazah dalam ritual pemakaman di Republik Guinea dan Sierra Leone dan pekerja sulit mencegah warga untuk menyentuh mayat yang sudah terinfeksi Ebola.

Selain itu, saat Gunung Merapi meletus pada tahun 2010 di Indonesia, ratusan penduduk desa menolak untuk mengungsi karena tidak ingin meninggalkan tanah dan hewan mereka. Mereka juga percaya bahwa nyawa akan dilindungi oleh makhluk gaib, namun kenyataanya mereka tewas dalam bencana.

Kepercayaan tradisional membentuk sikap masyarakat terhadap risiko bencana alam, termasuk penduduk setempat di India yang meyakini banjir di Sungai Kosi Kota Bihar pada 2008 terjadi akibat kemarahan Sang Dewi Batari.

Tsunami di Samudra Hindia pada 2004 yang menerpa Aceh, Indonesia, juga memunculkan banyak spekulasi dari warga yang selamat. Mereka percaya bencana tersebut merupakan pembalasan dari Yang Maha Kuasa atas dosa yang dibuat oleh penduduk dan wisatawan.

“Masyarakat memungkinkan dirinya untuk hidup dengan risiko dengan mempertahankan budaya lokal agar mereka merasa aman atau dapat menghapus penyebab bencana datang. Kondisi tersebut dapat diterima tanpa perlu ada penjelasan,” menurut pernyataan laporan IFRC yang dilansir dari Reuters.

Laporan IFRC menuliskan keyakinan tersebut dapat menghentikan orang-orang yang bertindak untuk menyelamatkan mereka dan mengabaikan saran penduduk luar dalam memberikan peringatan awal terhadap bencana.

Sebaliknya, penduduk setempat justru memilih untuk berdoa, memberikan persembahan dan tindakan penebusan, atau pasrah berserah diri.

“Tidak peduli seberapa aneh atau sulit, budaya tidak dapat disingkirkan dan tidak boleh diabaikan,” menurut laporan tersebut.

Ketidaksesuaian budaya Peneliti dari Institut Studi Pembangunan di Inggris, Terry Cannon, mengatakan masalah prinsip keyakinan penduduk setempat tidak hanya terletak pada nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat, tetapi pada pendekatan mendasar dari lembaga bantuan kemanusiaan.

Cannon juga menilai sebagian besar penduduk setempat tidak memprioritaskan ancaman cuaca ekstrim atau bencana alam lainnya. Mereka hanya fokus pada masalah kehidupan sehari-hari, seperti makanan dan air yang cukup, kesehatan yang buruk, serta keamanan yang tidak terjamin.

“Ada ketidaksesuaian prioritas karena penduduk tidak ingin mendapat bantuan antisipasi gempa bumi, angin topan, dan tsunami. Mereka ingin dibantu karena masalah kehidupan sehari-hari,” tambah Cannon.

Laporan dari Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) juga menyebutkan budaya menjadi kekuatan positif dalam mengurangi risiko bencana.

Aktivitas sosial penduduk dan keyakinan agama dapat membantu mereka bangkit kembali pasca mengalami bencana. Arsitektur tradisional juga harus dipertimbangkan ketika membangun perumahan karena bentuk rumah tentunya sudah disesuaikan dengan kondisi setempat dan lebih aman ketimbang rumah berbahan dasar beton dengan kualitas buruk saat dibangun.

Dalam kata pengantar laporan, Sekretaris Jenderal IFRC, Elhadj As Sy, mengatakan kelompok pekerja bantuan harus belajar mengurangi risiko bencana dengan memperhatikan budaya masyarakat agar dampak bencana tidak berkelanjutan. (Uu.SDP83/ )

(Ant) –