ogoh2

Sosok raksasa berwajah menyeramkan, bertaring, mata melotot, lidah menjulur dan perut buncit dengan rambut gimbal awut-awutan yang dibuat skala kecil diarak puluhan anak-anak Taman Kanak-Kanak di Kota Denpasar.

Sekitar 53 buah ogoh-ogoh diarak anak-anak TK mengenakan busana adat Bali keliling taman kota Denpasar di kawasan Lumintang yang disaksikan Wali Kota Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra.

Pawai ogoh-ogoh untuk anak-anak TK itu dilakukan Sabtu pagi (29/3), sementara pawai ogoh-ogoh terkait Tawur Kesanga, sehari menjelang Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 akan dilakukan Minggu Petang (30/3).

Namun arak-arakan pawai ogoh-ogoh kali ini diperkirakan tidak sebanyak Hari Ngerupuk Nyepi Tahun lalu, karena waktunya bersamaan dengan masa kampanye partai politik menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif.

Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha maupun Ketua Parisada Hindu Dharma Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana tetap mengizinkan arakan ogoh-ogoh namun sedikitnya memenuhi enam persyaratan (wujud) sesuai dengan susastra agama Hindu.

Ogoh-ogoh yang diarak sama sekali tidak dibenarkan menggunakan bentuk Panca Pandawa, sejenis yang menyimbulkan kebaikan, tidak menggunakan bentuk atau identitas lainnya yang terkait dengan atribut politik maupun partai politik, baik dalam bentuk ogoh-ogoh maupun atribut pengiring dalam pawai ogoh-ogoh.

Pawai ogoh-ogoh hanya dilakukan dalam lingkungan wilayah banjar (dusun) atau desa adat bersangkutan, jika sampai melewati desa adat lain agar melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat desa adat bersangkutan dan pihak kepolisian setempat.

Dalam pawai ogoh-ogoh hasil kreativitas anak-anak muda itu tetap dapat menggunakan alunan musik atau instrumen gamelan Bali yang mencerminkan tradisi adat Bali.

Namun demikian tidak diizinkan membunyikan petasan ataupun bentuk lain sejenisnya yang menimbulkan suara menggelegar.

Khusus di Kabupaten Gianyar sebantak 21 dari ribuan ogoh-ogoh di daerah itu juga diarak pada hari Sabtu (29/3) untuk memeriahkan Tegallalang Ogoh-Ogoh Festival.

Ogoh-ogoh yang menonjolkan unsur seni itu dari masing-masing desa adat berusaha menampilkan yang terbaik, tutur Kepala Kesbang Linmas Gianyar I Ketut Artama.

Di Gianyar yang dikenal sebagai daerah gudang seni pada hari Ngeruk Nyepi pada Minggu malam (30/3) akan diarak 1,012 ogoh-ogoh dalam berbagai bentuk dan ukuran keliling desa adat masing-masing.

Jumlah ogoh-ogoh itu sedikit menurun dibandingkan Hari Ngerupuk Nyepi tahun sebelumnya yang tercatat 1.294 buah, ujar I Ketut Artama.

Ukuran besar Pawai ogoh-ogoh, (boneka ukuran besar), memeriahkan malam Pengrupukan sehari menjelang Hari Suci Nyepi tahun baru Saka 1936, 30 Maret 2014 untuk kawasan Catur Muka jantung kota Denpasar ditiadakan.

Meskipun demikian arak-arakan boneka ukuran besar antara lain sosok raksasa berwajah menyeramkan, bertaring, mata melotot, lidah menjulur dan perut buncit dengan rambut gimbal awut-awutan itu tetap diizinkan dengan berbagai persyaratan.

Anak-anak muda dari sejumlah banjar di Kota Denpasar telah membuat boneka raksasa dengan tinggi 3,5 sampai lima meter dan lebar dua meter, seperti yang kini bisa disaksikan di sejumlah balai banjar di kawasan Perumnas Monang-Maning Denpasar dan tempat-tempat lainnya di kota Denpasar dan sekitarnya.

“Mahluk dunia ahirat” menyerupai bentuk “bhutakala” itu, sejalan dengan makna hari “Ngerupuk” yakni mengusir roh jahat, menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif “bhutakala” yaitu roh atau makluk khasat mata.

“Ogoh-ogoh itu setelah diarak seyogyanya dibakar (lebur) sehingga dunia beserta isinya diharapkan kembali bersih dan bebas dari segala gangguan makluk maupun roh jahat,” tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi.

Anak-anak muda yang tergabung dalam wadah Sekaa Teruna-Teruni maupun sesama rekannya dalam satu pemukiman, atau desa adat (desa pekraman) di Bali secara gotong-royong membuat “ogoh-ogoh” dan berlomba-lomba menampilkan yang terbaik, unik dan menarik.

Awalnya Sangat Sederhana Ogoh-ogoh awalnya sangat sederhana dibuat oleh anak-anak muda dalam lingkungan desa adat dengan menggunakan bahan lokal yang sangat sederhana. Ogoh-ogoh dari hal yang sangat sederhana, baik dalam bentuk maupun penampilan kini semakin berkembang.

Perkembangan kreativitas anak-anak muda itu diawali sekitar tahun 1979, saat Pesta Kesenian Bali (PKB), kegiatan tahunan seniman Pulau Dewata yang menampilkan arakan “ogoh-ogoh”.

Kenyataan itu oleh beberapa seniman memberikan inspirasi untuk mengembangkan peluang bisnis, karena tidak semua anak-anak muda di banjar sempat membuat ogoh-ogoh yang membutuhkan waktu cukup lama.

Semangat dan darah seni itu terus berkembang pada anak muda di kota Denpasar Kabupaten Badung dan tujuh kabupaten lainnya di daerah ini dalam pembuatan ogoh-ogoh, untuk diarak sehari menjelang hari suci Nyepi.

Pada malam penggrupukan kali ini 1.480 desa adat di Bali, baik di kota maupun pedesaan akan mengarak ogoh-ogoh keliling desa masing-masing.

Kepolisian Resor Kota Denpasar untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan mengerahkan ratusan personel yang didukung Jajaran untuk mengamankan pawai ogoh-ogoh rangkaian Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Caka 1936.

Petugas itu dikerahkan mulai Jumat (28/3) saat umat Hindu menggelar ritual “Melasti” atau upacara penyucian benda-benda sakral ke pantai dan sejumlah sumber mata air, hingga sehari setelah Hari Raya Nyepi pada Selasa (1/4).

Demikian pula Polres di delapan kabupaten lainnya di Bali juga melakukan antisipasi dan persiapan yang sama, sehingga rangkaian Hari Suci Nyepi dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Alihkan ke PKB Direktur Program Doktor IHDN Denpasar Dr I Ketut Sumadi berpendapat, pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh pada malam penggrupukan menjelang Nyepi itu ke depan bisa dialihkan untuk memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar setiap tahun pada bulan Juni.

Pawai hasil kreativitas anak-anak muda itu sangat rawan terjadi bentrok antar pengusung ogoh-ogoh yang memicu terjadinya bentrok warga antarbanjar. Pertimbangan pengalihan waktu itu juga didasarkan atas rasa, karena pawai ogoh-ogoh yang dilakukan secara meriah, identik dengan menghibur diri untuk bersenang-senang.

Padahal saat itu umat Hindu mulai bersiap-siap melaksanakan Tapa Brata Penyepian, empat pantangan, salah satunya di antaranya amati lelanguan yakni tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan atau bersenang-senang.

Tiga pantangan lainnya meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan) dan amati lelungan (tidak bepergian).

Pengalihan pawai ogoh-ogoh dari malam penggrupukan Nyepi sekaligus untuk menambah kesemarakan PKB, karena tidak akan mengurangi arti dan makna malam pengrupukan.

“Rangkaian kegiatan ritual untuk tingkat rumah tangga atau desa adat tetap dilaksanakan seperti selama ini, termasuk diantaranya yang disebut ‘mebiu-biu’ pada waktu sandikala dengan sarana berupa sesajen, api dayuh (daun kelapa kering), air suci dan suara kulkul,” tuturnya.

Dengan kegiatan ritual di tingkat rumah tangga yang sederhana seperti itu, seluruh anggota keluarga siap-siap untuk melaksanakan Tapa Brata Penyepian.

Jika pawai ogoh-ogoh selama ini terkesan menonjolkan kesenangan untuk menghibur diri, sehingga kurang pas, karena keesokan harinya melaksanakan empat pantangan dengan mengurung diri dalam rumah, ujar Ketut Sumadi. AN-MB