Jakarta, (Metrobali.com)-

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terkait penghinaan terhadap pemerintah akan disahkan DPR, Juli 2022. Salah satu pasal yang terdapat di dalamnya dinilai kontroversial dan menuai banyak kritik yaitu tentang menghina pemerintah.

Aturan itu tertuang di dalam Pasal 240 yang berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak sesuai kategori IV”.

Keonaran yang tercantum dalam Pasal 240 itu dijelaskan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara.

Maka, hukuman bagi penghina pemerintah akan dinaikkan jika tindakan tersebut dilakukan melalui media sosial (medsos).

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”.

Kemudian, Pasal 353 ayat 1 berbunyi, ”Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan itu antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/wali kota.

Mantan anggota Komisi Yudisial (KY) Taufiqqurahman Syahuri dengan tegas menyatakan, ancaman 18 bulan penjara bagi penghina DPR, polisi, jaksa, hingga gubernur/wali kota, harus dihapus.

Sebab, batasan antara kritik dan penghinaan sangat tipis. Kondisi itu seperti mengingatkan kita pada pasal karet.

Pada masa Orde Baru kita mengenal pasal subversi yang biasanya menjerat orang yang antipemerintah atau mengancam eksistensi kekuasaan. Tidak jarang aktivis yang kritis pada aturan penguasa dilibas dengan pasal itu.

Pasal karet sudah ada sejak zaman Hindia Belanda yang memuat Buku II Kejahatan Bab II tentang Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden dan merupakan adaptasi dari peraturan pemerintah Belanda yang melarang warganya mencemooh Ratu Belanda.

Dalam bahasa Belanda, pasal penghinaan tersebut disebut sebagai haatzaai artikelen (ujaran kebencian).

Meski demikian, pasal itu sudah dihapuskan sejak 4 Desember 2006 oleh Mahkamah Konstitusi. Taufiqqurahman meminta agar pasal ini dihapus saja.

Tidak ada pasal itu saja, banyak warga biasa yang mengkritik penguasa dipolisikan.

“Sudahlah penguasa atau lembaga enggak perlu minta dihormati. Bukankah pejabat sudah dapat kompensasi gaji dan fasilitas. Jika dikritik ya wajar. Kritik yang halus, kririk kasar ,atau penghinaan itu batasanya relatif,” kata Taufiq.

Kata orangtua kita dulu, kalau jadi pejabat itu harus kandel ceuli atau tebal telinga. Artinya, tidak ambil pusing atau acuh (terhadap makian, sindiran, dan sebagainya); tidak mau mendengar kata orang lain.

Selama berjalan di rel yang benar, bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Jawab kriti bahkan penghinaan dengan kerja dan prestasi.

Selain itu, dalam demokrasi ada kredo vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Ketika rakyat sudah bersuara, mesti diberi nilai tertinggi, terkoneksi misi ketuhanan.

Di dalamnya ada sakralisasi demokrasi yang tidak boleh diabaikan dan diselewengkan. Bagaimana jadinya jika suara Tuhan justru membuahkan hukuman penjara.

Kata demokrasi bermakna kekuasaan atau kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat adalah kekuasaan tertinggi. Namun, suara rakyat kok malah dibungkam?

Sumber : pikiran rakyat