Caleg-perempuan

Denpasar (Metrobali.com)-

Saat Pemilu 2014 tinggal berbilang hari, isu keterwakilan perempuan di lembaga legislatif kembali mencuat seiring dengan kegalauan politik tentang wacana perluasan partisipasi perempuan dalam politik.

Setidaknya, jika demokrasi yang kita anut dewasa ini kita maknai sebagai “wider people participation”, maka perempuan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari “demos” tersebut yang juga harus dipikirkan dan diupayakan porsi partisipasinya secara maksimal dalam ruang publik.

Problema partisipasi perempuan dalam politik yang sedang digalakkan ini sebenarnya tidak terlepas dari dominasi wacana liberalisme global yang melanda hampir seluruh permukaan bumi. Gerak wacana kesetaraan gender dalam kerangka liberal menghasilkan tuntutan-tuntutan yang makin meluas tentang kesetaraan kesempatan bagi perempuan dalam partisipasi mereka secara lebih luas di parlemen.

Mengarah kepada pemaknaan globalisasi yang lebih positif, kapitalisme global telah mendongkrak peningkatan kesempatan bagi perempuan sebagai tenaga kerja yang mendapatkan pengakuan secara material, konsep “global governance” juga menawarkan sebuah peningkatan status baru bagi perempuan. Demikian pula ide-ide masyarakat madani global menggelar “karpet merah” guna memperluas jalan bagi ketersediaan sarana-sarana yang diperlukan untuk kesetaraan gender.

Dalam konteks politik di Indonesia, status perempuan sebagai bagian dari bangsa yang harus diberikan hak-hak dasarnya, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara sudah jelas. Garansi kesetaraan status perempuan dengan laki-laki khususnya di bidang politik dan hukum telah tegaskan dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1, yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan demikian, jelas bahwa perempuan yang mampu dipandang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan positif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Artikel ini bertujuan mengkritisi wacana dominan tentang partisipasi perempuan dalam politik, khususnya keterwakilan perempuan dalam formasi anggota legislatif.

Pada masa periode pasca-Perang Dingin ini, wacana demokrasi adalah wacana demokrasi liberal. Dominasi wacana ini menekankan adanya kebebasan individu sebagai prasyarat kesejahteraan sosial. Dalam praktiknya di Indonesia, peningkatan partisipasi perempuan dalam politik dewasa ini layaklah mendapatkan apresiasi. Menurut data Sekretariat Jenderal DPR RI, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif selama periode 2009-2014 tercatat 18,1 persen dari total keseluruhan anggota legislatif. Hal ini berarti lebih tinggi dari periode 2004-2009 sebelumnya yang tercatat hanya 11,09 persen.

Hal ini terutama setelah disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Suara Terbanyak Terhadap Keterwakilan Perempuan. Ditambah lagi hasil perjuangan para penggiat partisipasi perempuan untuk kesetaraan gender yang paling tampak adalah dengan disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam politik dengan kuota minimal 30 persen, baik di kepengurusan partai maupun dalam pencalonan legislatif.

Memaknai Kesetaraan Persoalan yang perlu dicermati adalah bagaimana kemudian kita memaknai prinsip kesetaraan gender tersebut? Dalam ranah politik, konsep kesetaraan kesempatan (equal opportunity) berarti pemberian kesempatan yang setara seluas-luasnya bagi setiap warga negara secara nondiskriminatif untuk mendapatkan hak-hak hidupnya. Di antara hak-hak tersebut yang terpenting adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik.

Pro dan kontra pemberian kuota perempuan di lembaga legislatif ini tampaknya belum ada habisnya. Bagi yang tidak setuju, kritik diarahkan kepada wacana pemberdayaan perempuan yang ternyata terjerumus ke dalam marginalisasi perempuan itu sendiri melalui fragmentasi dan pembagian gender secara diskursif. Dengan kata lain bahwa kuota tersebut mengukuhkan subordinasi kaum perempuan terhadap laki-laki dalam ranah politik.

Proses konstruksi perempuan secara sosial ini berlanjut dengan memberi identitas perempuan sebagai warga negara yang lemah, tidak mampu bersaing dengan partner laki-lakinya yang dibuktikan bahwa perempuan masih perlu mendapat “jatah” kursi khusus di lembaga legislatif yang ditetapkan melalui undang-undang, bukan karena hasil persaingannya secara adil, dan terbuka dengan sesama calon legislatif laki-laki.

Dalam fenomena ini, perempuan berakhir dengan marginalisasi statusnya dengan kecenderungan untuk menjadikan perempuan hanya sebagai komoditas politik untuk memenuhi syarat kualifikasi partai politik oleh KPU dan pendulang suara pemilih awam demi naiknya elektabilitas partai politik yang tetap didominasi oleh peran laki-laki.

Pemberlakuan partisipasi perempuan dengan kuota 30 persen tersebut, dengan melihat kembali pemikiran politik Hannah Arendt, merupakan usaha-usaha untuk mengonversikan politik kepada administrasi yang hanya akan meredam potensi dan daya kreativitas perempuan itu sendiri dalam ruang publik. Hal ini menjadi sangat memungkinkan saat tren modern memandang politik hanya sebagai proses kompetisi belaka yang memisahkan politik dari esensi moralnya untuk tujuan pembangunan dan konsolidasi masyarakat.

Politik yang dimaknai sebagai proses kompetisi belaka ini tampak misalnya dalam pandangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai tujuan pemberlakuan kuota 30 persen agar dalam waktu yang tidak terlalu lama jumlah perempuan yang turut berpartisipasi dalam politik nasional, khususnya di lembaga legislatif itu akan meningkat. Sebuah kecenderungan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik dan hanya mengejar prasyarat untuk mendapatkan bentuk demokrasi tanpa substansi demokrasi itu sendiri.

Alhasil, kendala yang muncul di lapangan adalah kesulitan partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen calon legislatif perempuan apalagi misalnya di daerah seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur. Masalah utama adalah kesulitan bagi partai politik untuk untuk melakukan fungsi rekutmen politik untuk kader perempuan. Belum meratanya pendidikan bagi rakyat hingga ke pelosok daerah terjalin berkelindan dengan budaya patriarki yang masih kental pada masyarakat agaknya menjadi problema yang memerlukan waktu lebih lama untuk bisa dicarikan solusinya secara komprehensif.

Kondisi ini memberikan gambaran bagaimana konsep kemerdekaan (freedom) individu yang berkaitan erat dengan konsep kesetaraan (equality) warga negara belum terpenuhi. Kemerdekaan menghajatkan terbukanya kesetaraan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk melakukan pilihan rasionalnya.

Kemerdekaan bagi setiap warga negara adalah kemerdekaan untuk terlibat dalam kompetisi partisipatif secara politis. Dalam konteks kaderisasi politik oleh partai politik, maka kesetaraan akses ini bisa saja direalisasikan dengan cara melakukan usaha-usaha yang mengarah kepada kesetaraan kesempatan bagi perempuan dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Dengan harapan akan lebih tercapainya partisipasi perempuan secara demokratis.

Memastikan kesetaraan kesempatan memperoleh pendidikan yang baik bagi setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan tersebut, tampaknya menjadi substansi demokrasi yang lebih layak untuk diprioritaskan daripada mengejar kuantitas perempuan dalam lembaga legislatif yang hanya sebagai pemenuhan prasyarat bentuk demokrasi belaka.

Agaknya pemikiran untuk mendongkrak partisipasi politik perempuan, khususnya di lembaga legislatif, dipengaruhi oleh wacana konservatif tentang “political correctness” yang sempat berkembang secara kontroversial di beberapa universitas di Amerika Serikat pada 1990-an. Jika benar, maka sesungguhnya demokrasi kita sedang mengalami kegamangan posisi di antara wacana liberal dan konservatif.

Pertanyaan yang diperdebatkan dalam kebijakan aksi afirmatif seperti ini adalah bagaimanakah cara yang terbaik dan tercepat untuk menyelesaikan masalah keterwakilan dalam sebuah masyarakat yang besar? Aroma emansipatori bagi perempuan yang ditempuh dengan cara seperti ini sejatinya tidak linear dengan dominasi wacana liberalisme yang sedang berjalan. Ada sebuah kebingungan agaknya di sini.

Kebijakan aksi afirmatif yang melakukan perlakuan khusus kepada kaum perempuan hanya dengan dasar bahwa yang dibela adalah perempuan yang diangggap terpinggirkan dipandang hanya bekerja pada lapisan kulit saja dari demokrasi. Kebijakan ini bahkan banyak menuai kritik sebagai bentuk negasi dari demokrasi itu sendiri.

Kita lihat pada kenyataannya di Indonesia dalam menyikapi kekurangan kader perempuannya banyak partai politik yang akhirnya bertindak secara pragmatis dengan menempatkan calon-calon legislatif perempuan yang dianggap populer dari kalangan artis atau pengusaha tanpa memperhitungkan kapabilitas politiknya. Sebuah tindakan politis yang justru kontraproduktif dengan substansi demokrasi.

Menanggapi hal ini perlu dirumuskan kembali pemahaman makna dari politik yang berperspektif perempuan, yang benar-benar berlaku emansipatoris bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan perbaikan dan perubahan nasibnya menuju cita-cita kesejahteraan sosial.

Mungkin kita bisa merenungkan kembali tentang cita-cita kesejahteraan sosial Bapak Bangsa Bung Karno dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni “politiek economische democratie” yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

*) Penulis peraih gelar MA dari Department of Political Science, specialization in International Relations, University of Delhi, sekarang mengajar di FISIP Universitas Udayana, Denpasar. AN-MB