Parpol Jadi Triliuner?
Partai politik bakal memiliki rekening “gendut”. Istilah yang populer untuk oknum tertentu yang menyimpan uang melimpah di rekeningnya itu akan lekat pula pada partai politik.
Bedanya, kalau oknum tertentu itu diragukan asal dananya, untuk partai politik ini jelas yakni berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Ya, tiap partai politik akan mendapat dana bantuan operasional sebesar Rp1 triliun per tahun. Partai politik menjadi “triliuner”, bukan lagi “miliarder” atau sekadar “jutawan alias miliuner”, sebagaimana besaran bantuan dari pemerintah yang berlangsung selama ini.
Adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menggulirkan wacana bahwa pemerintah akan meningkatkan dana operasional untuk tiap partai politik dari APBN maksimal sebesar Rp1 triliun guna meningkatkan transparansi dan demokrasi.
Dana bantuan tersebut dimaksudkan agar partai dapat benar-benar menjalankan fungsi kaderisasi, selain juga agar terhindar dari mencari pemasukan ilegal bagi partai.
“Sebagian masyarakat sekarang menuding negatif bahwa partai politik dan anggota partai di lembaga legislatif ‘bermain’ dengan anggaran rakyat yakni APBN dan APBD,” kata politisi PDI Perjuangan itu.
Niat politik untuk memasukkan anggaran partai dalam APBN menjadi penting, karena dalihnya partai merupakan sumber perekrutan calon pemimpin nasional.
Menurut Tjahjo, anggaran negara yang diperuntukkan bagi partai politik saat ini tidak seberapa, karena adanya keterbatasan anggaran sehingga dia mengusulkan ada pos khusus untuk partai politik sebesar Rp1 triliun setiap tahunnya.
Sebelum wacana ini, pemerintah memiliki anggaran untuk membantu parpol sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Data Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri menyebutkan total bantuan yang diberikan kepada 10 partai politik yang lolos dalam Pemilu 2014 senilai Rp13,17 miliar yang dialokasikan dalam APBN 2015.
Dari besaran anggaran itu, PDI Perjuangn yang meraih 109 kursi di DPR RI mendapatkan bantuan terbesar yakni senilai Rp2,55 miliar setiap tahun, dan Partai Hanura yang meraih 16 kursi di DPR RI memperoleh paling sedikit yakni Rp710,58 juta.
Soal pendanaan partai politik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 34 Undang-Undang itu menyebutkan keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.
Terkait wacana tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar nilai nominal dana bantuan operasional untuk partai politik itu dihitung lebih rinci lagi supaya sesuai dengan perolehan suara partai politik.
“Saya kira itu harus dihitung, nanti kalau dipukul rata dapat Rp1 triliun semua, ya semuanya mau bikin partai saja jadinya,” ujar Jusuf Kalla yang berasal dari Partai Golkar.
Penghitungan tersebut bisa saja didasarkan pada jumlah pemilih atau perolehan kursi seperti yang diatur saat ini dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yakni Rp108 per suara.
Kapan pendanaan bagi partai politik itu digulirkan? Belum ada kepastian waktunya. Mendagri hanya menyatakan anggaran sebesar Rp1 triliun untuk partai politik akan diimplementasikan setelah pemerintah mencukupi kebutuhan anggaran kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
“Ke depan nanti, kalau anggaran pemerintah sudah memadai dan maksimal untuk pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan revolusi mental, saya kira pembiayaan partai politik dari negara juga perlu menjadi pertimbangan termasuk bantuan dana kepada ormas yang sah,” ucap mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan itu.
Ia mengusulkan pendanaan untuk partai politik dengan catatan keuangan atau ruang fiskal pemerintah terus membaik. Partai politik memerlukan dana untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu, pendidikan kaderisasi, dan melaksanakan program serta operasional.
Kawal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berjanji akan mengawal jika wacana pemerintah memberikan dana bantuan operasional dari APBN untuk partai politik sebesar Rp1 triliun direalisasikan agar tidak terjadi penyalahgunaan keuangan negara.
Ketua BPK Harry Azhar Azis meminta pemerintah memastikan kapan rencana tersebut akan diimplementasikan, dan harus sesuai dengan Undang-Undang APBN pada tahun anggaran sesuai pemberlakuan kebijakan tersebut.
“Tergantung kesepakatan pemerintah dengan DPR,” ujar dia. BPK akan memastikan alokasi dana partai itu sesuai dengan pagu anggaran yang disepakati pemerintah dan DPR, begitu juga peruntukannya.
Pemeriksaan anggaran untuk parpol akan dilakukan setelah tahun penggunaan anggaran itu selesai.
“Kita akan konfirmasi kalau Rp1 triliun, apakah masuk ke partai Rp1,5 triliun, nah kalau begitu ada penyalahgunaan. Kalau masuk ke partai malah Rp750 miliar, nah itu dapat diartikan ada penghematan,” tukasnya.
Sementara itu lembaga pemantau korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta audit keuangan partai politik terlebih dahulu sebelum negara memberikan bantuan dana APBN.
Peneliti ICW Bidang Investigasi dan Publikasi, Tama S Langkun, menekankan pada akuntabilitas keuangan partai yang harus diutamakan karena selama ini parpol enggan membuka secara transparan pendapatan maupun pengeluaran dari anggarannya.
Beberapa tahun lalu ICW mencoba meminta sembilan parpol membuka laporan keuangannya, namun hampir sebagian besar tidak mau memberikan.
“Setelah disengketakan dahulu, baru mereka memberikan laporan keuangannya. Itu indikator bahwa partai belum siap dengan laporan keuangannya karena dari hal seperti itu saja tidak bisa, bagaimana ketika diberikan dana yang besar,” kujar Tama, mempertanyakan.
Selain itu, apakah ketika dana bantuan triliunan rupiah itu diberikan, kemudian dapat menyelesaikan permasalahan korupsi di internal parpol.
Korupsi itu merupakan persoalan kompleks dan ICW sedang melakukan kajian mendalam, namun yang jelas disebabkan biaya politik yang tinggi.
“Masalah yang kita lihat adalah mengapa biaya politik tinggi, apakah itu akibat masyarakat yang meminta uang? Kan tidak juga,” ucapnya.
Tama menjelaskan biaya politik tinggi disebabkan beberapa hal antara lain biaya “beli” kendaraan politik, biaya kampanye, biaya menggunakan tim sukses yang semuanya masuk dalam infrastruktur partai politik.
Persoalan itu terkait dengan pola perekrutan kader. Semestinya perekrutan kader menghasilkan kader terbaik. Kerap terjadi kader yang membangun basis massa dengan membentuk komunikasi dengan masyarakat, kalah oleh kader yang mengandalkan modal tetapi tidak memiliki basis massa.
Menteri Dalam Negeri memastikan mengatur sanksi bagi partai politik yang terbukti menyelewengkan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sanksi bagi partai politik harus tegas, kalau melanggar undang-undang, partai itu bisa dibubarkan, karena perekrutan calon pemimpin daerah dan pemimpin bangsa melalui parpol.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menurut Tjahjo belum mengatur mengenai ketegasan sanksi bagi partai yang menyalahgunakan dana bantuan negara untuk kegiatan politiknya, sehingga peraturan itu perlu diperbaharui.
Oleh Budi Setiawanto
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.