Pariwisata Budaya, Renungan untuk Reklamasi Teluk Benoa
Oleh: I Gede Sutarya
Reklamasi Teluk Benoa menuai protes keras dari berbagai kalangan. Reklamasi dengan perencanaan pembangunan fasilitas pariwisata, dinilai bertentangan dengan pariwisata budaya, yang menjadi ikon pariwisata Bali. Tetapi pembangunan fasilitas pariwisata sejenis yang merupakan resort terpusat, telah mulai dilakukan sejak tahun 1980-an, dan direncanakan sejak tahun 1971. Bagaimanakah sebenarnya pariwisata budaya tersebut? Apakah Bali masih dalam koridor pariwisata budaya, dalam model pembangunan resort pariwisata seperti itu?
Pariwisata Budaya adalah pariwisata yang menjadikan budaya sebagai tujuan dari perjalanan wisata ke suatu destinasi. Budaya tersebut meliputi peninggalan yang berupa benda mati dan yang hidup (live). Peninggalan yang berupa benda mati, seperti barang-barang di museum, candi, dan sejenisnya. Sesuatu peninggalan (legacy) yang masih hidup adalah kebiasaan, gaya hidup, dan sejenisnya. Semua produk-produk budaya itu menjadi tujuan daripada perjalanan wisata seseorang atau sekelompok orang ke suatu destinasi.
Pariwisata budaya ini merupakan perkembangan dari pariwisata untuk melakukan pendidikan. Pariwisata jenis ini merupakan warisan dari perjalanan para elite Inggris ke Eropa daratan (Perancis, dan Roma) pada sekitar abad ke-18, untuk belajar tentang kebesaran suatu peradaban. Perjalanan wisata ini dikenal dengan nama Grand Tour, menuju pusat-pusat peradaban dunia yaitu Perancis dan Roma. Perkembangan selanjutnya, perjalanan ini merambah ke belahan dunia lainnya, untuk mencari pusat-pusat peradaban dunia. Tujuan dari pariwisata ini adalah pendidikan untuk membangun peradaban yang besar.
Perkembangan berikutnya, pariwisata ini merambah ke masyarakat-masyarakat tradisional, sebab banyak yang bisa dipelajari dari masyarakat-masyarakat tradisional, yaitu hidup selaras dengan alam. Perkembangan ini menjadikan Indian-Amerika, dan Afrika menjadi tujuan-tujuan pariwisata. Bali, India, Thailand, dan yang lainnya kemudian menjadi tujuan-tujuan berikutnya. Pada masyarakat tradisional tersebut, wisatawan ingin melihat kehidupan yang selaras dengan alam, yang merupakan budaya setempat. Karena itu, pusat-pusat masyarakat tradisional ini kemudian menjadi destinasi pariwisata yang ramai.
Perkembangan pariwisata pada masyarakat tradisional ini, ternyata telah banyak mengubah masyarakat tradisional itu sendiri. Studi di Afrika, dan Amerika menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata telah menyebabkan masyarakat asli mengubah mata pencaharian mereka, dari sektor pertanian, dan hidup berburu menjadi pekerja di sektor pariwisata. Perubahan mata pencaharian ini kemudian merubah kebiasaan, dan gaya hidup masyarakat setempat. Studi pada masyarakat Tenganan, Karangasem juga menunjukkan hal itu, bahwa pariwisata telah mengubah mata pencaharian masyarakat setempat, sehingga karena dibutuhkan oleh pariwisata, mereka kemudian menjadi “seolah-olah petani” (Ambarwati, 2008).
Studi-studi ini menunjukkan bahwa pariwisata ternyata telah mengubah budaya itu sendiri, sehingga terjadi kemudian debat tentang authenticity (keotentikan). Debat ini berakhir pada kesimpulan bahwa keotentikan adalah sebuah negosiasi antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Apabila kedua komponen itu menyatakan, sesuatu itu otentik maka hal itu disebut otentik (Cohen, 1979). Karena itulah, merumuskan tentang pariwisata budaya menjadi sangat sulit. Apakah masyarakat Bali yang berubah tidak termasuk budaya? Perubahan masyarakat itu jelas merupakan bagian dari budaya, karena itu pariwisata budaya tidak lagi dimaknai sebagai pelestarian budaya, agar seperti di masa lalu. Konsep ini agak bertentangan dengan konsep “pelestarian” seperti yang dimaksudkan sejak masa kolonial.
Konsep ini mengembangkan budaya sebagai sesuatu yang hidup, sehingga memang terus berubah. Budaya Bali misalnya, terus mengalami perubahan, sebab perkembangan pariwisata telah menyebabkan warga Bali mengubah mata pencaharian mereka, sehingga kebiasaan hidupnya pun tidak lagi dekat dengan alam. Apakah yang kemudian dikembangkan dalam pariwisata budaya, di tengah perubahan tersebut? Jawabannya adalah keunikan, yang merupakan kekhasan masyarakat Bali. Keunikan ini lahir dari keadaan setiap masyarakat dalam menjawab perubahan. Setiap masyarakat akan berbeda ketika menjawab perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya. Jawaban-jawaban inilah yang menimbulkan keunikan, atau bahkan keotentikan baru. Apakah keotentikan baru tersebut? Itulah yang harus dicarikan jawabannya.
Pembangunan fasilitas pariwisata baru di Bali, haruslah menjawab pertanyaan ini agar tidak terlepas dari tema besar pariwisata budaya. Pertanyaan besar ini akan memunculkan sebuah jawaban tentang apakah yang bisa dipelajari di Bali? Sebab ide besar pariwisata budaya adalah pendidikan untuk membangun peradaban besar. Karena itulah, nilai-nilai dasar dari budaya Bali, yaitu hidup selaras dengan alam, sesama, dan Tuhan harus diwujudkan dalam pembangunan pariwisata Bali. Sebab itulah sebenarnya yang dapat dipelajari dari masyarakat Bali oleh dunia, sehingga mereka bisa menemukan kebahagiaan di Bali.
Akan tetapi mengaplikasi konsep tersebut, sangatlah sulit. Sejak pariwisata Bali dibangun, pemerintah dan masyarakat Bali telah mencantumkan konsep itu (Tri Hita Karana), dan jiwa agama Hindu sebagai landasan pembangunan pariwisata Bali. Undang-undang pariwisata, dan Perda Pariwisata Budaya juga telah mencatumkan tentang pembangunan pariwisata yang harus berlandaskan nilai-nilai agama dan budaya, tetapi mengaplikasikan hal ini tidaklah mudah. Mengaplikasikan nilai kesucian misalnya dalam ukuran meter, bukanlah hal mudah. Sebab kesucian adalah soal rasa, dan rasa terus berubah. Karena itulah, untuk mengetahui hal ini maka masyarakat Balilah yang harus ditanya. Jawaban jujur mereka, yang dikemudian dipadukan dengan teks-teks yang ada, merupakan jawaban dari implementasi dari nilai-nilai tersebut.
Reklamasi Teluk Benoa, dan pembangunan fasilitas pariwisata di dalamnya, haruslah menjadi representasi dari nilai-nilai tersebut, sehingga masih ada yang bisa dipelajari wisatawan dari setiap perubahan yang terjadi di Bali. Hal inilah yang menjadi kendala terbesar dari setiap pembangunan pariwisata di Bali. Sebab sejak awal, belum dirumuskan tentang bagaimana membangun Bali, tanpa terlepas dari nilai-nilai budayanya. Bahkan perumusan tentang nilai-nilai budayanya pun masih sebuah perdebatan, sehingga yang mengemuka adalah isu tentang budaya Bali telah rusak, tetapi ukuran-ukuran kerusakannya belumlah menjadi satu kesatuan pandangan.
Perubahan mata pencaharian orang Bali sekarang ini adalah kewajaran. Masyarakat Bali tak mungkin diminta menjadi petani, dengan hanya mengandalkan tanah 15 are. Mereka memang harus beralih ke sektor lainnya. Pergeseran ini, apakah akan menjauhkan masyarakat Bali dari budayanya? Pergeseran dari budaya agraris jelas akan terjadi, sehingga mengubah berbagai bentuk kehidupan bersama, ritual keagamaan, dan sebagainya. Tetapi, apakah pergeseran itu sudah dianggap sebagai bentuk kerusakan dari budaya Bali? Apakah dengan demikian, Bali tak layak menjadi destinasi pariwisata budaya lagi?
Jawabannya adalah terletak dari apakah ada sesuatu yang masih bisa dipelajari di Bali, untuk menemukan kebahagiaan. Inilah jawaban dari destinasi pariwisata budaya dunia sekarang ini. India misalnya memainkan isu tersebut, dengan menjadikan India sebagai pusat yoga dunia yang asli, sehingga jika seseorang ingin belajar bagaimana hidup bahagia, datang dan belajar dengan guru yoga di India. Apa yang bisa dipelajari di Bali? Itu adalah cara hidup yang selaras dengan alam. Sebuah cara hidup yang membuat orang-orang Hindu di dunia memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih baik, walaupun secara materi masih kurang jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Cara hidup seperti inilah yang harus dipertahankan, untuk bisa tetap menjadi destinasi pariwisata budaya dunia.
Cara hidup seperti ini, tidaklah bisa dipelajari bila wisatawan tinggal pada sebuah resort yang lepas jauh dari masyarakat Bali. Cara hidup ini hanya dapat dipelajari bila wisatawan bisa bersentuhan dengan masyarakat, sehingga wisatawan bisa mengakses kehidupan nyata masyarakat Bali. Sudahkah itu terjadi? Survei BI tahun 2015 membuktikan bahwa wisatawan ternyata lebih banyak disodori obyek-obyek buatan manusia. Karena itu, wisatawan belum diajak untuk melihat bagaimana orang Bali hidup, dan apa yang bisa dipelajari dari kehidupan orang Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata Bali memang sudah semakin bergeser dari pariwisata budaya. Perkembangan ini menjadi renungan bagi pembanguan fasilitas pariwisata baru di Bali, terutama pasca reklamasi Teluk Benoa.
(I Gede Sutarya, pemerhati masalah pariwisata dan budaya. Dosen IHDN Denpasar).
1 Komentar
Suka gak suka memang benar bahwa turis lebih suka man made tourism daripada hal hal yg alami dan budaya. Hanya sekitar 10℅ turis suka budaya hanya 10% turis minat lihat ngaben atau ritual agama lainnya.bukti bahwa city hotel lebih full drpd resort dan tempat dugem di kuta lebih ramai drpd tanah lot