Denpasar, (Metrobali.com)-

Wisatawan melimpah, hotel relatif kosong, industri transportasi wisata mengalami tekanan, Puncak Gunung Es, industri pariwisata Bali nyaris berlangsung liar. Ini menjadi tantangan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Wayan Koster dan Nyoman Giri Prasta.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pariwisata, Rabu 26 Maret 2025 menanggapi liarnya pariwisata Bali yang tanpa kendali Gubernur Bali.

Menurutnya, hilangnya wisatawan asing dari hotel hotel besar, kemungkinan besar mereka menginap di hotel, vila yang tidak berizin, bodong, tidak mengikuti aturan pariwisata, dan tidak membayar pajak. Akibatnya, punya potensi besar melanggar: aturan tata ruang, IMB, Amdal dan pemerintah daerah kehilangan pajak pendapatan yang besar.

Dikatakan, prinsip: “least government is the best government” , pemerintahan yang terbaik adalah pemerintah yang mengatur serba sedikit, membiarkan mekanisme pasar bekerja. Tetapi dengan syarat tidak menjadi liar, aturan hukum diikuti, tentang: izin bangunan, amdal, pembayaran pajak dan aturan ketenaga-kerjaan.

Menurutnya, Negara, dalam hal ini Pemda harus hadir secara efektif di lapangan, dalam pengaturan perizinan, penegakan aturan hukum, tegaknya Amdal, melakukan pembinaan lapangan, tidak sekadar melakukan pemungutan pajak dan retribusi lainnya.

“Tercipta prinsip keseimbangan: negara melakukan pungutan pajak, yang secara dengan pelayanan kepada warga dan wajib pajak,” katanya.

Dikatakan, “Sirkuit kemelut” dalam perizinan vila dan sejenisnya, juga menimpa ke sektor industri pariwisata lainnya: restoran, perdagangan souvenir, dan yang lebih serius pengaturan jasa transportasi wisata, dan jasa pramuwisata.

Menurutnya, pasar jasa transportasi dan pramuwisata nyaris “rimba raya”, ketidak jelasan aturan, mereka yang masuk dan keluar dari industri ini begitu bebas nyaris tanpa ada regulasinya. Negara mesti hadir sebagai “regulator” pengatur persaingan, dalam sebuah industri yang padat karya.

Dikatakan, Bali punya pengalaman dalam pengelolaan industri pariwisata selama 50 tahun, dengan curve belajar yang panjang.

“Sayangnya eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi, kabupaten, kota tidak memanfaatnya secara baik, dengan akibat: krisis dalam: pengelolaan sampah, kemacetan lalu lintas dan pelanggaran hukum yang massif,” katanya .

Akibatnya, lanjut Jro Gde Sudibya, sebuah lembaga internasional perangkingan tentang tujuan wisata dunia, merekomendasikan Bali sebagai tempat yang tidak pantas dikunjungi.

“Sense of Crisis” dalam pengelolaan industri pariwisata Bali mesti ditingkatkan, bawah sadar bahwa Bali sebagai DTW Dunia akan tetap baik-baik saja tanpa pengelolaan terpadu dan visioner, harus ditinggalkan,” kata Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pariwisata.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan