Panitia Utsawa Sekar Alit Bertemu Bupati

Jembrana (Metrobali.com)-

Sanggar Dirgahayu Suari Jembrana lahir dari keprihatinan atas keadaan kesenian tembang kekayaan tradisional, yang gairahnya terkubur arus modernisasi. “Anak muda dengan fondasi karakter budaya lokal yang rapuh, kurang berminat mewarisi estafet “kesakralan” budaya yang notabene muncul sebelum datangnya baca-tulis Latin (teks modern) ini. Dari situasi tersebut, kami berniat menyelenggarakan Utsawa Sekar Alit, pada hari Minggu, 2/2,” Kata Ngurah Gede Ambara Putra, selaku Pembina, saat membuka pertemuan dengan Bupati Jembrana, Putu Artha, yang didampingi Kadis Dikporapabud, Nengah Alit, Senin, 27/1.

Kita ketahui tembang berbahasa daerah ini banyak mengandung pesan filosofi kearifan lokal yang penting diresapi dalam setiap metrumnya. Khususnya oleh pejabat publik dalam bertutur dan melayani rakyatnya. “Metrum Pangkur misalnya, berasal  “mungkur” (mundur), yang berarti mengendurkan gejolak hawa nafsu. Pangkur dilambangkan manusia renta dengan sifat kebijaksanaan, keteladanan, dan tutur santun,” kata Gede Mahardika, Ketua Panita Pelaksana, menambahkan. Dalam kesempatan itu, panitia berharap dukungan dan kehadiran Bupati dalam pengukuhan Sanggar dan sekaligus membuka Utsawa Sekar Alit.

Tradisi, tarian, serta musik daerah yang notabene menjadi sumber pembentuk identitas daerah, provinsi  dan bangsa kini semakin asing. “Saya sangat apresiasi dengan terbentuknya sanggar dan rencana pelaksanaan utsawa. Sekaligus berharap dapat mendorong peran serta kaum muda dalam pelestarian kebudayaan secara keseluruhan. Tanpa peran anak muda, masa depan budaya Mekidung menjadi suram. Karena itu, jangan sampai anak muda teperdaya oleh pengaruh budaya luar yang sering kali meruntuhkan seluruh budaya lokal yang ada,” kata Putu Artha, dan memastikan akan hadir dalam acara tersebut.

Sekolah dan masyarakat harus menjadi lokomotif untuk mengenalkan kembali Utsawa, Macapat atau Mekidung kepada generasi muda. “Di Jembrana sendiri, setiap sekolah dan institusi lain sudah lama memasukkan pengenalan budaya sebagai agenda pembelajaran. Jangan heran jika Jembrana ada murid yang pandai mejejahitan, menabuh gamelan, menari pendet, dharmagita dan bermain janger bersama di tiap sekolah,” kata Nengah Alit meyakinkan.

Kepedulian sektor pendidikan dan masyarakat lewat berbagai sanggar serta seka-seka, di tengah rendahnya penghargaan kaum muda terhadap kearifan lokal khususnya Dharmagita, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi keutuhan daerah, provinsi dan bangsa, serta pertaruhan martabat Indonesia agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain. MT-MB