Denpasar (Metrobali.com)-

 Setiap perjalanan seringkali membuahkan berbagai pengalaman dan kenangan. Ada berbagai tempat dan peristiwa eksotis (yang tidak ada di daerah sendiri) yang mengendap dalam batin dan menjadi ingatan. Ada interaksi imajinasi dalam jiwa, studi banding budaya, dan seringkali juga mengakibatkan shock culture bagi sebagian orang yang tumben bepergian. Namun tidak banyak perupa Bali yang berkemauan serius mengabadikan pengalaman dan interaksinya dengan budaya dan daerah baru, menjadi karya-karya kreatif berupa sketsa ataupun lukisan.

  Pada tanggal 29 Mei hingga 2 Juni 2013, sepuluh perupa Bali berkesempatan menampilkan karya-karyanya di Museum Seni Rupa dan Keramik yang berlokasi di kawasan Kota Tua, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Sepuluh perupa tersebut adalah I Made Kaek, I Made ‘Romi’ Sukadana, I Made Somadita,  I Wayan Linggih, I Wayan Arnata,  I Ketut ‘Kaprus’ Jaya, I Ketut Mastrum, I Ketut  ‘Kabul’ Suasana, I Nengah Sujena, dan Vinsensius Dedy Reru.

 Saat itu, di sela-sela waktu luang, mereka menyempatkan diri membuat sketsa, drawing, foto, tentang suasana Kota Tua dan sekitarnya. Mereka mengunjungi Museum Bahari, Menara Syahbandar, Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Fatahilah, Museum Wayang, dan sebagainya. Kesan atau impresi yang mereka dapatkan kemudian dituangkan menjadi karya-karya seni rupa.

  Kota Tua, begitu orang-orang Jakarta menyebutnya, adalah sebuah kawasan bersejarah, cikal bakal kota Jakarta yang kita kenal sekarang. Di kawasan inilah terjadi berbagai pertempuran silih berganti dalam rangka merebut Pelabuhan Sunda Kelapa yang pada zaman itu merupakan pelabuhan terpenting di Nusantara.

Pada tahun 1526, Pelabuhan Sunda Kelapa dan kawasan sekitarnya yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang diperkuat tentara Portugis diserang oleh tentara Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fatahilah. Sunda Kelapa berhasil ditaklukkan pada tanggal 22 Juni 1527, kemudian namanya diganti menjadi Jayakarta. Pada tahun 1619, tentara Belanda dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Ketika Indonesia merdeka, nama Batavia diganti menjadi Jakarta, dan tanggal 22 Juni yang merujuk pada kemenangan Fatahilah diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta.

  Pameran bertajuk “Jakarta : 10 Perupa + 1 Penyair” ini merupakan upaya-upaya merekam jejak sejarah Kota Jakarta, menyajikan olahan impresi dan imajinasi, serta hasil interaksi sepuluh perupa di dalam kehidupan kaum urban Jakarta. Sepuluh perupa ini menggunakan berbagai cara untuk mengekspresikan kesan dan kenangannya selama di Jakarta. Kaek, Linggih, dan Kaprus mengabadikan pengalamannya dalam bentuk sketsa, drawing, dan lukisan cat air. Mastrum, Sujena, Dedy Reru, Somadita memakai media lukisan untuk mengungkapkan imajinasinya tentang Jakarta. Arnata menggunakan kolase benang untuk menggambarkan keruwetan Jakarta. Romi memakai objek-objek temuan, drawing, dan teknik kolase. Kabul menggunakan foto dan drawing. Semua teknik dan cara ekspresi itu bermuara pada dua hal, yakni kenangan dan renungan.

  Pameran ini digelar di Paros Art Gallery, Banjar Palak, Sukawati, Gianyar, pada tanggal 22 Juni hingga 5 Juli 2013. Pameran yang digelar secara sederhana ini juga dimaksudkan untuk merayakan ulang tahun Kota Jakarta ke-486 yang jatuh pada tanggal 22 Juni 2013. Selain itu, selaku kurator dan penyair, dalam acara pembukaan, Wayan Jengki Sunarta akan membacakan dan memajang dua puisinya yang berjudul “Pelabuhan Sunda Kelapa” dan “Senja di Taman Fatahilah”. RED-MB