Wayan Jangki Sunarta

MASYARAKAT seni rupa di Bali sangat jarang disuguhi pameran karya-karya perupa dari negara lain, apalagi yang melibatkan banyak perupa. Pameran “Message Stick, Indegenous Identiy in Urban Australia” ini menjadi suguhan menarik. Sebab, karya-karya mutakhir sebelas perupa kontemporer Aborigin-Australia, dari generasi tua hingga muda, ini menunjukkan pada kita perjuangan dan gerakan mereka sebagai generasi yang dirampas.

Selain di Bali, pameran yang dikuratori Carrie Kibbler ini, juga akan ditampilkan di Bandung dan Jakarta. Tujuannya memperkenalkan karya-karya perupa kontemporer Australia ke hadapan masyarakat internasional. Pemerintah Australia melalui Kementrian Luar Negeri bekerjasama dengan Artbank sejak lama memiliki kepedulian pada kemajuan kesenian kontemporer Aborigin. Artbank sendiri mengoleksi ribuan karya seni kualitas terbaik suku Aborigin, dari tradisi hingga kontemporer, termasuk karya-karya yang sedang dipamerkan ini.

Upaya-upaya promosi ini juga sebagai bentuk permintaan maaf pemerintah Australia kepada warga Aborigin, terutama generasi yang dirampas atau istilah halusnya the stolen generations. Permintaan maaf secara resmi telah disampaikan oleh Perdana Menteri Australia, Kevin Ruud, pada 13 Februari 2008 di depan anggota parlemen dan warga Aborigin.

Suku Aborigin adalah penduduk asli Australia, yang menghuni benua itu sejak lebih dari 40 ribu tahun lalu. Pada 1606, Belanda menduduki benua Australia. Kemudian, sejak 1788 resmi diduduki Inggris. Bahkan, Inggris menjadikan Australia sebagai tempat pembuangan pelaku-pelaku kriminal kelas berat. Masa-masa pendudukan itu disertai kekerasan rasial dan diskriminasi terhadap suku Aborigin.

Orang-orang kulit putih pada masa itu, tidak hanya berusaha menumpas suku Aborigin dengan berbagai cara, namun juga merampas tanah, menghancurkan tradisi, adat istiadat, dan budaya mereka. Yang paling tragis, anak-anak Aborigin dirampas dan dipisahkan dari keluarganya. Itu terjadi antara tahun 1869 hingga 1969. Orang-orang kulit putih menyangkal hak-hak orang tua warga pribumi atas anak-anak mereka dan menempatkannya di bawah perwalian negara.

Generasi yang dirampas itu dipaksa menghuni panti-panti asuhan dan lembaga-lembaga lain milik pemerintah. Mereka dibesarkan di luar budaya dan bahasa ibunya, dipaksa melupakan keluarganya, dan dihukum jika ketahuan menggunakan bahasa Aborigin. Mereka juga mengalami diskriminasi dan kekerasan lahir dan batin. Sedikitnya sekitar 100 ribu anak Aborigin menjadi korban kebijakan yang tak berperikemanusiaan itu.

Mereka tumbuh menjadi generasi yang tercerabut dari akarnya. Sebagian mengalami depresi parah, larut dalam alkohol dan obat-obatan terlarang hingga akhirnya mati secara perlahan. Sejarawan Henry Reynolds menyebut peristiwa itu sebagai genosida, yang membuat penduduk asli Australia menyusut drastis.

Setelah melalui berbagai gerakan dan perjuangan yang panjang, pada tahun 1967 pemerintah Australia membuat referendum tentang suku Aborigin. Sejak saat itu, orang-orang Aborigin memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara Australia lainnya. Referendum itu adalah akhir dari ketertindasan orang-orang Aborigin di tanah kelahirannya sendiri.

Namun, hingga sekarang masih banyak warga Aborigin yang tak sudi merayakan Australia Day, yang jatuh setiap  tanggal 26 Januari. Bagi warga Aborigin, hari itu adalah hari berkabung, awal mula duka lara akibat pendudukan Inggris yang dilakukan Kapten Arthur Phillip pada 26 Januari 1788 di Port Jackson (bagian dari Sydney).

Sebagian orang Aborigin yang hidup di perkotaan menikah dengan orang-orang kulit putih. Mereka melahirkan generasi hibrida, yang tak memiliki akar budaya yang jelas. Generasi ini kehilangan benang merah yang menghubungkan mereka dengan leluhurnya. Mereka tidak tahu dari kampung mana, atau dari kelompok bahasa mana mereka berasal. Aborigin di perkotaan banyak yang mengalami krisis identitas.

 

Carrie Kibbler mengatakan, akibat terputusnya hubungan orang-orang Aborigin di perkotaan dengan bahasa ibunya atau sebagai generasi yang dirampas, mereka kemudian menggambarkan diri ke dalam istilah generik lokal. Koori di timur selatan dari New South Wales, Murri di timur utara dari New South Wales dan Queensland, Nyoongar (Nyungah) di selatan Australia Barat, dan Nunga di daerah pesisir Australia Selatan.

Melalui karya-karya seni, para seniman Aborigin berusaha mengungkapkan bagaimana keturunan generasi yang dicerabut paksa dari akarnya itu, berupaya menemukan kembali identitasnya, mengenali aroma tanah kelahirannya, dan dengan tertatih-tatih memelajari kembali kebudayaannya.

Karya-karya seni Aborigin perkotaan mulai dikenal pada era 1970-an dan 1980-an selama periode perubahan sosial-politik di Australia. Mereka merayakan “Referendum 1967” dengan menggunakan seni sebagai alat untuk berhubungan kembali dengan warisan leluhurnya. Dan, sebagai bentuk protes terhadap isu-isu rasisme, diskriminasi, kekerasan, serta perampasan generasi yang dilakukan bangsa kulit putih di masa-masa pendudukan.

Pemerintah Australia pun secara masif membuka lembaga-lembaga pendidikan kesenian untuk generasi Aborigin di perkotaan. Mereka diajari berbagai bentuk kesenian dan diperkenalkan kembali pada kebudayaan leluhurnya. Secara tidak langsung, hal itu menjadi salah satu ungkapan “penyesalan dan permintaan maaf” pemerintah Australia atas sejarah hitam yang pernah menimpa suku Aborigin.

Seni rupa Australia sendiri sesungguhnya muncul dan tumbuh dari kreasi orang-orang Aborigin. Hal ini dibuktikan dengan banyak temuan lukisan-lukisan di dinding gua dan di atas kulit-kulit kayu. Seniman-seniman akademik-modernis Australia kemudian mengadopsi aliran-aliran seni rupa Eropa dan Amerika yang telah menjadi mainstream dunia, seperti realisme, surealisme, abstrakisme, kubisme, impresionisme, ekspresionisme, dan sebagainya. Tema lanskap alam pun pernah menjadi suatu trend tersendiri di Australia. Seni kontemporer yang dikreasi seniman-seniman Aborigin di perkotaan, menjadi gerakan dan kebanggaan Australia di kancah seni rupa internasional. Bahkan, kritikus seni Robert Hughes telah menerbitkan beberapa buku sejarah dan seni Australia yang sangat berpengaruh di tingkat internasional.

Dalam pameran ini, kita bisa menyaksikan karya-karya Robert Campbell Jnr (1944), Ian W. Abdulla (1947), Richard Bell (1953), H.J. Wedge (1957), Darren Siwes (1968), Julie Dwoling (1969), Brook Andrew (1970), Adam Hill (1970), Danie Mellor (1971), Reko Rennie (1974), Christian Bumbarra Thomson (1978).  Sebagian dari mereka adalah generasi hasil kawin silang antara orang kulit putih dan orang Aborigin. Karya-karya mereka kebanyakan mengusung isu-isu rasisme dan diskriminasi, perampasan generasi, lenyapnya identitas, kerinduan pada warisan leluhur.

Pameran ini juga membongkar stereotip yang menyempitkan kesenian Aborigin hanya sebatas bumerang, lukisan oker di kulit kayu, atau pun ukiran-ukiran primitif. Perupa-perupa kontemporer Aborigin, terutama yang berusia muda dan mengenyam pendidikan seni rupa secara akademik, telah mampu mengeksplorasi kekayaan seni tradisi Aborigin dengan visual-visual dan sentuhan kontemporer.

Misalnya, seri karya “Message Stick” (2009) Reko Rennie yang menampilkan tongkat pesan dan ukiran khas Aborigin dalam visual kontemporer. Atau, karya Robert Campbell Jnr yang berjudul “Please Welfare, Don’t take my kids” (1987) yang lahir dari kenangan kelam akan anak-anak Aborigin yang dirampas orang-orang kulit putih. Meski temanya mengandung protes, namun visualnya tetap memakai ikon-ikon warisan leluhur Aborigin. Hal senada juga tampak pada karya-karya H.J.Wedge yang berjudul “My Grandmother’s travel” (1997), “Alcohol Cemetery Your Time has Run Out” (1997), dan “Star Spirit” (1997). Karya-karya Wedge yang naif-dekoratif penuh diliputi kenangan kelam generasi yang dirampas. Termasuk wajah-wajah muram anak-anak Aborigin yang tumbuh tanpa akar budaya dalam lukisan “The Ungrateful” (1999) karya Julie Dwoling.

Sementara itu, lewat seri karya fotografi yang berjudul “Hunting Ground 1-3” (2007), Christian Thomson memparodikan sosok Kapten James Cook yang mengklaim menemukan Australia, padahal benua itu telah dihuni suku Aborigin. Karya parodi yang tak kalah menarik juga terlihat pada foto-foto Darren Siwes. Dalam foto buatan 2008 yang berjudul “Gold Puella”, “Silver Puella”, dan “Bronze Puella”, Siwes memparodikan koin Australia, mengganti gambar Ratu Elizabeth II dengan perempuan Aborigin.

Di sisi lain, karya Ian W. Abdulla menampilkan kehidupan suku Aborigin di kawasan isolasi, seperti terlihat pada karya “Mother with Fish 1960” (1996). Adam Hill dalam karya “The Bigger Picture” (2006), menampilkan lanskap alam Australia yang fantastis dengan sudut pandang kontemporer. Danie Mellor lewat drawing berjudul “Native Gold” (2007) dan “The Heart’tale” (2007), menyajikan lanskap flora-fauna Australia dengan garis-garis yang ritmis dan puitis. Brook Andrew lewat monoprint berjudul “The Man” (2005) menampilkan sosok lelaki Aborigin yang seakan tak berdaya dengan dirinya sendiri. Richard Bell memadukan seni grafiti dengan ikon-ikon seni suku Aborigin, terlihat dalam karyanya yang berjudul “Always Right” (2003). Dengan lantang Bell menuliskan “I Am Not Always Right But I Am Never Wrong”.

Karya-karya sebelas perupa kontemporer Aborigin-Australia ini secara keseluruhan menjadi tongkat pesan yang disampaikan secara berantai, untuk memberitakan kepada khalayak luas, bahwa perdamaian dan kedamaian di atas segalanya. Belajar dari masa silam yang suram, lewat karya-karya seninya, mereka menjadi lapisan terdepan gerakan anti kekerasan, rasisme, dan diskriminasi. Sembari terus berupaya menghubungkan diri dengan warisan leluhurnya, mereka berharap tidak ada lagi generasi yang dirampas atau dicerabut dari akarnya.***

Oleh Wayan Jengki Sunarta *

 penulis dan kurator seni rupa.

 

 BIODATA SINGKAT

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mulai  menulis puisi sejak awal 1990-an. Kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Selain itu, dia mengkuratori sejumlah pameran tunggal dan bersama di Bali, antara lain pameran Bali Art Fair 2013, Kuta Art Chromatic 2013.

Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, di antaranya Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Jawa Post, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Visual Arts, Majalah Arti.

Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011). Buku kumpulan puisinya adalah Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana Bandung, Juni 2010).