karya Agus Wiryadhi Saidi

BALI  sebagai destinasi budaya tak sepi dari aktivitas berkesenian. Seni  di Bali tak hanya sebagai laku kreatif, namun juga merupakan bagian dari laku ritual keagamaan. Seni tradisi dan seni modern sama-sama mendapat tempat dalam aktivitas budaya di Bali. Namun dalam kenyataannya seni  tradisi lebih banyakmendapat panggung dan sambutan masyarakat, dibandingkan dengan kesenian modern yang memang memiliki wilayah pentas dan  penikmat tersendiri. Dalam seni pertunjukan misalnya, pentas Arja, Topeng, Sendratari, dan  Drama Gong mendapat perhatian yang lebih banyak dibandingkan pentas teater modern.

Kehidupan  teater modern di Bali pernah mengalami masa kejayaan di era tahun 80-an. Ketika itu banyak kelompok teater bermunculan dan mengadakan pementasan. Aktivitas teater seperti Teater Keliling, Lomba Drama Modern, dan Lomba Cipta Naskah Drama Modern merupakan geliat perteateran yang saling mendukung maraknya dunia teater di Bali kala itu. Kita pernah mengenal  beberapa nama kelompok teater seperti, Teater Poliklinik, Teater Mini Badung, Sanggar Putih, Teater Agustus, Teater Nyuh Gading, Bali Eksperimentar Teater, Teater Bumi, Teater Equelibrium, dan sebagainya. Pada masa sekarang, kegiatan teater di Bali tidak seramai kegiatan teater era 80-an. Beberapa pentas teater masih ada, namun sangat langka. Pentas teater dan monolog masih bisa disaksikan baik sebagai pentas mandiri maupun sebagai pentas yang menjadi bagian acara tertentu. Beberapa nama yang patut dicatat karena konsistensi  dan dedikasi pada dunia teater modern misalnya, Abu Bakar, Putu Satria Kusuma, Cok Sawitri. dan Nanoq da Kansas. Mereka selain sebagai pemain teater, tapi juga menulis naskah,  menyutradarai, dan membina sekaligus memotivasi kalangan muda dalam kegiatan teater.

Pementasan teater sering kali berakhir setelah pentas usai. Tidak banyak catatan dan ulasan kritis usai pementasan. Banyak pementasan teater kita yang luput  dari upaya pendokumentasian secara verbal maupun visual. Padahal upaya semacam itu sangat penting dalam dialektika reseptif pada sebuah karya seni.  Atas kesadaran itulah, tiga fotografer, yaitu Ida Bagus Darmasuta, Agus Wiryadhi Saidi, dan Phalayasa Sukmakarsa  yang sempat menyaksikan dan memotret beberapa pentas teater di Bali berupaya  menyajikan foto  dokumentatif-estetik pentas teater di Bali. Foto-foto yang disajikan dalam pemeran ini  didasari oleh pertimbangan artistik,  arsip, dan lokatif.

Dalam seni pertunjukan, foto merupakan kesaksian pentas. Foto mampu menangkap detail pentas, tidak hanya soal mimik, ekpresi, gestur, tetapi juga soal tata cahaya, komposisi, setting panggung dan sebagainya. Foto sering kali menangkap apa yang tak tertangkap oleh mata penonton saat pertunjukan. Foto dengan cara pengabadian yang estetik akan memberikan kesan  dan pesan baru bagi penikmatnya. Kesan dan pesan itu merupakan pemantik yang mampu memicu lahirnya apresiasi  baru di kalangan yang lebih luas.

Deretan foto sesungguhnya mampu membangun sebuah “panggung baru”, sebuah panggung imajiner yang menyodorkan lakon baru dengan piranti pementasan yang dibangun berdasarkan sudat pandang seorang fotografer. Harapan kami, “Teater Kita: Panggung Baru” ini barangkali bisa ikut menyemarakkan dan menyemangati dunia perteateran di Bali.

Nama Acara                : Pameran Fotografi “Teater Kita: Panggung Baru”
Para Fotografer           : Agus Wiryadhi Saidi, Ida Bagus Darmasuta, Phalayasa Sukmakarsa
Tempat                        : Six Point Restaurant & Bar, Jl. Danau Buyan 74 Sanur, Denpasar.
Waktu                         : 14 Agustus – 14 September 2014
Pembukaan                  : Kamis, 14 Agustus 2014, jam 19.00 Wita, di Six Point
Acara Pembukaan       : Performant Art oleh Putu Satria Kusuma

RED-MB