Pakar: kesadaran masyarakat lestarikan bahasa daerah rendah

Seminar Internasional Penggunaan Bahasa Daerah/bahasa ibu untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa Sekolah Dasar diadakan Rabu, 24 September 2014, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu (24/9/2014). (ANTARA News/Arindra Meodia)
Semarang (Metrobali.com)-
Pakar linguistik Universitas Diponegoro Semarang Herujati Purwoko menilai kesadaran masyarakat sekarang ini cenderung rendah untuk melestarikan bahasa daerah atau bahasa ibu.

“Masih adakah pelajaran Bahasa Jawa di sekolah dasar (SD). Memang masih, namun sebatas mata pelajaran. Paling cuma dua jam/minggu. Ya, kapan pinter bahasa Jawanya,” katanya di Semarang, Selasa (9/8).

Hal itu diungkapkan pengajar Magister Linguistik Undip Semarang itu saat seminar internasional Language Maintenance and Shift (LAMAS) VI yang digelar di Pascasarjana Undip Semarang, 9-10 Agustus 2016.

Kondisi tersebut, kata dia, diiringi dengan perilaku orang tua sekarang ini yang cenderung memilih menggunakan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia ketimbang bahasa daerah dalam berkomunikasi.

“Dalam berkomunikasi dengan anaknya sendiri saja, kebanyakan memakai bahasa Indonesia. Anak-anak di luar (masyarakat, red.) ngomong Jawa, memang iya. Namun, lebih karena pergaulan,” ungkapnya.

Menurut dia, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan bahasa daerah, yakni dengan aktif menggunakannya untuk berkomunikasi itu membuat generasi muda menjadi lupa dengan bahasa daerahnya.

Demikian juga dengan media, lanjut dia, sebab surat kabar lokal pun memilih menggunakan bahasa nasional dibanding bahasa daerah meski skala distribusi medianya jelas di masyarakat daerah tertentu.

“Artinya, ada pergeseran peran keluarga, media, dan sekolah untuk mempertahankan bahasa ibu. Lama kelamaan, bahasa daerah akan hilang sendiri karena dominasi bahasa nasional,” katanya.

Herujati mengungkapkan persoalan itu yang menjadi keprihatinan Magister Linguistik Undip dan Balai Bahasa Jawa Tengah sehingga berinisiatif bekerja sama menggelar seminar internasional LAMAS VI.

“Seminar ini ingin melihat sejauh mana pergeserannya? Pergeserannya ke mana? Jangan sampai generasi muda nanti malah tidak bisa berbahasa Jawa. Sekarang kan sudah banyak yang seperti itu,” katanya.

Kondisi seperti itu saja terjadi kepada bahasa Jawa yang penuturnya relatif banyak dan sudah dirasakan dampaknya, kata dia, apalagi bahasa daerah yang jumlah penuturnya relatif kecil di daerah tertentu.

“Kalau untuk bahasa Sunda, Jawa, dan Bali relatif masih bertahan. Namun, bahasa-bahasa lokal yang ada di Flores, misalnya, bagaimana? Ya, ini karena kurangnya kesadaran masyarakat,” pungkas Herujati. ANT