Profesor Juanda

Jakarta, (Metrobali.com)-

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Profesor Juanda menjelaskan bahwa Surat Edaran (SE) gubernur atau kepala daerah tidak bersifat mengikat. Alasanya, SE tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat apalagi pelaku usaha.

“Oleh karena SE tidak wajib ditaati karena sangat lemah jika tidak ada cantolan hukum yang lebih tinggi dan akibatnya tidak bisa juga dijadikan dasar memberikan sanksi kepada pihak yang melanggarnya,” kata Prof Juanda.

Dia menerangkan bahwa dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan tidak mengenal Surat Edaran. Dia melanjutkan, SE sifatnya hanya dianggap sebagai himbauan bukan peraturan perundang undangan.

Hal tersebut dia jelaskan berkenaan dengan sanksi yang tertuang dalam SE gubernur Bali nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih. SE tersebut memuat sanksi bagi masyarakat hingga pelaku usaha yang melanggar.

Prof Juanda menjelaskan bahwa secara prinsip, gubernur atau kepala daerah memang berwenang mengatur urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan kepentingan rakyat daerahnya. Dia melanjutkan, dalam rangka itu gubernur boleh mengeluarkan kebijakan atau peraturan dan keputusan gubernur.

“Namun kebijakan dan peraturan itu dapat dikeluarkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” katanya.

Praktisi Hukum, Gede Pasek Suardika juga menegaskan bahwa SE gubernur tidak bisa dijadikan landasan untuk memberikan hukuman bagi masyarakat dan pelaku usaha dari semua level. Gede menjelaskan, SE tidak berada dalam klaster perundang-undangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan sanksi.

“SE itu sebenarnya masuk ke dalam rumpun administrasi negara yang posisinya berada di level kebijakan. Di dalam beberapa ketentuan yang ada, SE itu setara dengan nota dinas,” kata Gede Pasek.

Dia mengatakan, SE bersifat diskresi secara internal untuk memberikan arahan tertentu sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan ancaman sanksi dalam SE dimaksud. Mantan anggota DPR RI ini bahkan siap memberikan pendampingan hukum gratis bagi masyarakat manapun yang dikenakan sanksi berlandaskan SE tersebut.

“Jadi itu kalau sampai nanti dijatuhkan sanksi bisa digugat. Meski penguasa juga tetap bisa digugat,” kata Gede Pasek.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih juga mengatakan bahwa SE gubernur Wayan Koster merupakan bentuk imbauan formal yang tidak boleh mengandung sanksi hukum. Dia melanjutkan, pemerintah dan aparat dan pihak lain juga tidak bisa membentuk satuan tugas khusus tanpa payung hukum yang jelas.

Dia melanjutkan, masyarakat juga tidak bisa diberikan sanksi apapun mengingat SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Anggota legislatif daerah yang biasa disapa Ajus Linggih ini melanjutkan, SE sebenarnya hanya bersifat kedinasan yang berlaku bagi instansi yang berada di bawah pemerintah provinsi (pemprov) dan tidak bisa mengikat pihak swasta.

“Surat Edaran itu ibarat arahan formal yang tidak bisa serta-merta diberlakukan ke luar kedinasan. Tidak ada sanksi tegas yang menyertai, dan pelaksanaannya belum ditindak secara formal di lapangan,” katanya. (RED-MB)