Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Gelar dan ijazah itu penting tentunya memang tidak dapat dibantah. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa gelar dan ijazah adalah sebatas pembuktian administrasi tentang proses formal belajar yang telah dilalui di lembaga perguruan tinggi, tidak lebih dari itu.

Mahardika Zifana mengatakan, ijazah dan gelar tentu diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang yang telah belajar dianggap layak atau memiliki kompetensi keilmuan tertentu, maka penulisan gelar yang menyertai nama dalam hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan dapat relevan. Dalam konteks lain, ini tentu saja tidak.

Contohnya, jika seorang Doktor Filsafat dalam bidang linguistik menulis gelar Dr. di depan namanya ketika menulis dirinya sebagai penyumbang sembako di Balai Desa, tentu ini tidak relevan. Lain halnya jika ia hendak mengajar di dalam sebuah mata kuliah Linguistik, Gelar Dr. harus dicantumkannya sebagai bukti administrasi bahwa ia memiliki kompetensi untuk mengajar dalam mata kuliah linguistik dan ia dianggap memiliki kompetensi atau otoritas keilmuan untuk melakukan transfer ilmu.

Dalam persoalan menulis akademik, apakah itu juga bukan pekerjaan yang perlu dilihat secara kompetensi gelar? Sekali lagi, konvensi ini tentunya muncul dari tradisi panjang pengelolaan tulisan ilmiah. Perlu kembali ditekankan, bahwa gelar dan ijazah bukan jaminan nyata yang terukur tentang kontribusi yang dapat disumbangkan oleh seseorang dalam tulisan. Sekalipun seseorang memiliki nilai akhir 4.0 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, itu bukan jaminan yang bisa menyatakan bahwa tulisan Anda akan lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah pada jenjang yang lebih rendah. Dalam bidang literatur keilmuan, kontribusi bukan soal gelar apa pun, tapi soal kualitas dari apa yang Anda tuliskan sesuai bidangnya masing-masing.

Hal tersebut masih dalam aspek teoretis dan literatur ilmu. Apalagi dalam konteks penerapan ilmu dan manfaatnya di tengah masyarakat. Banyak sekali bukti soal itu. Bill Gates yang tidak selesai kuliah di Harvard menunjukkan fakta bahwa kontribusi yang dia berikan terhadap masyarakat jauh lebih hebat daripada doktor-doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard.

Celakalah masyarakat ilmu dalam suatu negara jika banyak golongan yang mengaku cendekia, tetapi tidak paham urusan semacam ini. Mental pemburu ijazah berharga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan prestise, bukan mental ilmuwan. Bukankah gelar yang tinggi hanya akan menjadi bahan tertawaan, jika seseorang tidak dapat menulis manuskrip yang berfaedah secara saintifik sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan semacam itu hanya kepura-puraan? Pura-pura cendekia, padahal TIDAK.

Setuju dengan pendapat Mahardika Zifana dalam tulisan di atas. Merujuk tradisi intelektual Yunani, hanya ada dua gelar akademik: Dr dan Drs (calon doktor). Mereka yang melalui risetnya sesuai kaidah keilmuan, dan norma yang lazim berlaku di dunia akademik, bisa mendapatkan gelar Dr.sesuai bidang keilmuannya.

Menurut pengamat kebudayaan kontemporer I Gde Sudibya, gelar Dr adalah prestasi akademik tertinggi, dengan menggunakan logika tradisi Yunani, mereka yang mencapai gelar Dr.tidak perlu lagi mencantumkan gelar sebelumnya, yang bisa mereduksi kepakaran dalam referensi gelar Dr.nya.

Dikatakan, dalam tradisi Yunani, gelar ini harus disebutkan dalam kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan bidang keilmuannya.

Contoh, ekonom ternama yang lahir di Santiniketan India, Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1998, dari hasil risetnya menggambarkan keahliannya di bidang ekonomi tri (kajian statistik dan matematika ekonomi) pada isu: kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan).

Amartya Sen, wajib mencantumkan gelar Dr.pada sebut saja konferensi internasional tentang tema Kemiskinan Global. Demikian juga Dr.Mohammad Yunus, ekonom pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006, yang sekarang menjadi Presiden sementara Bangladesh.

Dalam tradisi Yunani, gelar Drs (calon doktor) dicantumkan bagi periset dalam melakukan riset dalam persiapan mencapai jenjang akademik tertinggi dengan kualifikasi Dr.

Menurut Gde Sudibya, tidak seperti di sini, gelar dipasang berderet, bisa di depan rumah, kartu undangan pernikahan dan kampanye politik. Publikpun tahu, kualitas mereka, menyimak pendapatnya dan unggahannya di medsos. Dan atau hanya diam, yang diduga publik (dugaan yang bisa benar dan bisa salah) upaya untuk menyembunyikan (to hide) kemampuannya yang pas-pasan (marginal intelectual capasity). Ada-ada saja di negeri ini.

Konon, dalam tradisi intelektual di kota Wina, seorang terpelajar dalam sebuah diskusi, lazim dipanggil Profesor karena luas dan dalamnya pengetahuan dalam subjek tertentu, walaupun yang bersangkutan bukan guru besar di sebuah perguruan tinggi. Tradisi intelektual di kota Wina ini, lazim pula dijumpai di komunitas intelektual Indonesia.

Sudah tentu, sebutan “Profesor”ini, berbeda dengan kualifikasi Profesor administratif resmi yang sekarang banyak disoroti publik prosedur perolehan dan kualitasnya.

(Sutiawan)