Foto: Para orang tua siswa didampingi pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional (LPK Nasional) Provinsi Bali mendatangi sekolah internasional Bukit Sunrise School, Jumat pagi (26/2/2021).

Badung (Metrobali.com)-

Para orang tua siswa “menggruduk” sekolah internasional Bukit Sunrise School yang berlokasi di Perumahan Kencana Resort I / 88, Kuta Selatan, Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Jumat pagi (26/2/2021).

Kedatangan mereka didampingi Ketua Direktorat Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional (LPK Nasional) Provinsi Bali Yohan Arnolus Kapitan dan pengurus. Para orang tua siswa ini ingin mendapatkan kejelasan terkait permohonan keringanan pembayaran biaya pendidikan yang sebelumnya diajukan ke pihak sekolah.

Pasalnya para orang tua siswa ini menghadapi kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19. Di samping itu pembelajaran online yang diberikan pihak sekolah kualitasnya dianggap rendah dan tidak sesuai standar sekolah internasional, serta tidak sebanding dengan mahalnya biaya yang mereka bayarkan.

Sayangnya keluhan dan permohonan orang tua siswa ini tidak mendapatkan respon positif.  Sekolah Bukit Sunrise School dan pihak Yayasan Mumpuni Aksara dianggap tidak beritikad baik menanggapi keluhan orang tua siswa.

Bahkan ketika orang tua siswa mendatangi sekolah, Ketua Yayasan Mumpuni Aksara tidak bersedia menerima mereka. Para orang tua siswa yang didampini LPK Nasional Bali ini hanya diterima Kepala TK dan Kepala SD yang mana mereka juga tidak punya kewenangan memberikan keputusan atas permintaan dan keluhan orang tua siswa.

“Pihak sekolah dan yayasan tidak mau memenuhi permohonan kami. Bahkan banyak kebijakan yang juga sangat memberatkan kami para orang tua dan siswa.” kata Dwi Ardyanti, salah satu orang tua siswa yang ikut hadir.

Sebelumnya para orang tua/murid Bukit Sunrise School yang berjumlah 10 orang telah mengadukan sekolah Bukit Sunrise School ke LPK Nasional pada bulan oktober 2020.

Dikeluhkan bahwa sekolah tersebut tidak bisa mentolerir para orang tua murid pada masa pandemi Covid-19 ini yang mana awalnya para orang tua murid meminta keringanan uang SPP dari pihak sekolah.

Namun pihak Yayasan Mumpuni Aksara yang  sebagai pihak yang mengelola sekolah ini tidak memberikan keringan dengan alasan bahwa pihak sekolah tetap melaksanakan kegiatan sekolah walaupun hanya lewat online.

Para orang tua murid merasa bahwa sekolah ini hanya memanfaatkan situasi ini untuk menekan para orang tua murid untuk tetap membayar sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani pada awal para murid  masuk. Situasi saat ini sangat tidak memungkinkan untuk para orang tua murid membayar seperti kesepakatan awal.

Karena itu para orang tua murid meminta untuk diberikan keringanan 25% dari uang SPP yang besarannya berkisar Rp 6 juta per 3 bulan. Namun dari pihak yayasan hanya diberikan 10% bagi yang yang mengajukan permohonan kepada pihak yayasan.

Sejak awal tahun ajaran 2020 banyak siswa yang tidak mengikuti pendidikan di sekolah ini alias putus sekolah. Mereka melihat bahwa sistem pendidikan yang diberikan oleh pihak sekolah tidak baik, sehingga ada diantara para orang tua murid yang anaknya ingin dipindahkan ke sekolah lain.

Salah satunya adalah Efrida, yang menyekolahkan dua anaknya di sekolah internasional ini, satu anaknya duduk kelas 2 dan satunya kelas 5 SD.

Namun karena tidak ada keringanan dari Bukit Sunrise School, dirinya memutuskan untuk berhenti menyekolahkan anaknya disini dan hendak pindah ke sekolah lain. Apalagi keuangannya makin sulit selepas suaminya meninggal November 2020 lalu.

“Saya mau pindahkan anak saya malah dipersulit, rapor anak saya ditahan. Malah ketika anak saya sudah berhenti sekolah disini, saya masih tetap dapat tagihan uang sekolah,” keluh Efrida.

Sekolah ini juga telah menerapkan sanksi bagi para orang tua murid yang terlambat membayar uang SPP dengan denda per hari sebesar Rp 10.000. Hal ini yang membuat para orang tua tidak menerima perlakuan dari pihak Yayasan.

“Telat bayar SPP per hari kami didenda Rp 10.000. Kalau tidak beli buku juga didenda. Kalau di luar kami bisa dapat beli buku pelajaran di harga Rp 900 ribu, tapi disini bisa sampai Rp 2,6 juta,” keluh Dwi Ardyanti.

Ketua Direktorat Pimpinan Daerah Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional (DPD LPK Nasional) Provinsi Bali Yohan Arnolus Kapitan mengungkapkan permasalahan ini seharusnya masih dalam taraf mediasi.

Yohan Arnolus Kapitan

Namun pihak sekolah dan pihak yayasan tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah ini namun tetap menerapkan apa yang menjadi keinginan mereka.

Komite sekolah yang seharusnya dapat menjembatani antara pihak sekolah dan  para orang tua murid tidak dilibatkan dalam hal ini. Bahkan awal pengaduan ke LPK Nasional komite pun ikut mengadukan yayasan ini.

Direktorat LPK Nasional Bali juga telah melayangkan surat kepada pihak yayasan sebanyak tiga kali, bahkan dilibatkan dalam meeting virtual antara para orang tua murid dan yayasan. Namun pihak yayasan sepertinya tidak ingn menyelesaikan kasus ini atau mencari solusi yang terbaik bagi para orang tua murid.

“Sekolah dan yayasan  sepertinya tidak punya itikad baik,” kata Yohan didampingi sejumlah pengurus seperti  Melkianus Umbu Deta (Bidang Humas dan Investigasi, Antonius Yoseph Bou ( Bidang Hukum).

Para orang tua murid sangat kecewa dimana masih dalam mediasi namun para murid tidak diijinkan ikut belajar lewat online. Dari peristiwa ini beberapa orang tua murid ingin memindahkan anaknya ke sekolah lain dan meminta dana yang telah disetorkan kepada pihak yayasan untuk dikembalikan.

Namun permohonan tidak diakomodir dan bahkan anak-anak murid tidak mendapatkan pendidikan sampai saat ini dan persoalan ini masih dalam ketidakpastian.

“Ini masa pandemi, pihak sekolah jangan menutup mata. Sekarang kasihan anak-anak tidak sekolah, statusnya digantung. Mau pindah tidak bisa karena rapor ditahan. Pihak yayasan tolong buatkan kebijakan meringankan,” pungkas Yohan yang juga seorang advokat ini. (wid)