“Orang Mati” Bisa Jual Beli Tanah, Warga Nusa Penida Gugat Mantan Sedahan dan Kantor Pertanahan Klungkung, 6,65 Hektar Tanahnya Raib Akibat Dugaan Pemalsuan Dokumen Jual Beli
Foto: I Wayan Sangging memperjuangkan hak atas tanahnya yang berlokasi di kawasan Kelingking Beach Nusa Penida yang diperjualbelikan tanpa izin dan diduga melibatkan pemalsuan dokumen jual beli. Sidang gugatan perbuatan melawan hukum berlanjut di Pengadilan Negeri Klungkung.
Klungkung (Metrobali.com)-
Sebuah gugatan hukum terkait kepemilikan tanah di kawasan wisata terkenal Kelingking Beach, Nusa Penida, mencuat ke publik. I Wayan Sangging, seorang pria berusia 82 tahun, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap beberapa pihak, termasuk mantan Kepala Sedahan Nusa Penida, Dewa Ketut Sudana, serta Kantor Pertanahan Kabupaten Klungkung.
Dalam gugatan yang terdaftar dengan nomor 074/G-1/Pdt-I/P/AL/TC/XI/2024 di Pengadilan Negeri Klungkung, Wayan Sangging mengklaim bahwa tanah warisan keluarganya seluas 66.550 meter persegi atau 6,65 hektar yang berlokasi di Dusun Karang Dawa, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, telah dialihkan secara tidak sah tanpa sepengetahuannya. Ia menuduh bahwa proses sertifikasi dan jual beli tanah tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum, termasuk dugaan pemalsuan dokumen.
Dewa Ketut Sudana Mantan Kepala Sedahan Nusa Penida menjadi Tergugat 1, Kepala Kantor Pertanahan Klungkung menjadi Tergugat 2. Sugianto, seorang investor yang membeli tanah objek perkara menjadi Tergugat 3. Made Susanta mantan Camat Nusa Penida menjadi Turut Tergugat 1 dan Notaris Gusti Nyoman Rupini menjadi Turut Tergugat 2.
Awal Mula Sengketa
Berdasarkan dokumen gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Klungkung, tanah yang kini menjadi objek perkara awalnya dimiliki oleh almarhum ayah Wayan Sangging, Ketut Layar alias Pan Sangging. Setelah kematian ayahnya pada tahun 1948, Wayan Sangging yang saat itu masih kecil ikut dalam program transmigrasi ke Lampung. Tanah tersebut kemudian dititipkan kepada kerabatnya.
Pada tahun 1992, Wayan Sangging kembali ke Nusa Penida dan membutuhkan uang untuk pulang ke
Lampung, dia meminjam uang dan menitipkan kitir Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) objek perkara kepada Dewa Ketut Sudana, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sedahan. Ia juga meminta bantuan Sudana untuk mencarikan pembeli tanah tersebut, dengan kesepakatan komisi jika tanah berhasil terjual.
Dewa Ketut Sudana meminta Wayan Sangging untuk menandatangani selembar kertas. Namun karena Wayan Sangging tidak bisa membaca, menulis dan tidak bisa tandatangan, maka dirinya membubuhkan cap jempol pada selembar kertas tersebut yang menurut keterangan Dewa Ketut Sudana hanya sekedar untuk catatan pinjaman.
Wayan Sangging percaya saja dan menurutinya tanpa ragu, karena selain tidak bisa baca tulis, dirinya juga mempercayai sumpah Dewa Ketut Sudana tidak akan berbohong. Namun, belakangan Wayan Sangging mengetahui bahwa tanah tersebut telah disertifikatkan dan diperjualbelikan tanpa izinnya. Bahkan, tanpa sepengetahuannya, pada 12 Desember 1995 tanah tersebut telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 139/Desa Bunga Mekar atas nama “I Sangging”, bukan nama lengkapnya I Wayan Sangging.
Dugaan Pemalsuan dan Perbuatan Melawan Hukum
Wayan Sangging menegaskan bahwa ia tidak pernah menandatangani atau memberikan persetujuan atas proses sertifikasi dan jual beli tanahnya. Ia menduga terjadi manipulasi administrasi dengan dugaan keterlibatan beberapa pihak, termasuk mantan Camat Nusa Penida Drs. I Made Susanta sebagai PPAT, serta seorang notaris di Klungkung, I Gusti Nyoman Rupini, S.H.
Gugatan ini juga menyoroti penerbitan Akta Jual Beli (AJB) Nomor 75/NP/1995, yang dibuat sebelum sertifikat tanah terbit. Fakta ini menjadi indikasi kuat adanya rekayasa hukum dalam proses transaksi tanah tersebut.
Selain itu, dalam perjalanan gugatan, ditemukan bahwa tanah tersebut akhirnya beralih kepemilikan kepada pihak lain melalui Akta Jual Beli Nomor 177/2021. Penggugat menilai bahwa seluruh proses ini cacat hukum dan bertentangan dengan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.
Tuntutan Hukum
Dalam gugatannya, Wayan Sangging meminta pengadilan untuk membatalkan seluruh akta jual beli dan sertifikat tanah yang terbit tanpa izinnya. Mengembalikan kepemilikan tanah kepada dirinya sebagai ahli waris sah. Membayar ganti rugi sebesar Rp. 3,48 miliar atas kehilangan hak pemanfaatan tanah selama 30 tahun. Menghukum para tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil lainnya kepada penggugat sebesar Rp. 3, 680 miliar secara tanggung renteng, tunai dan sekaligus.
Nyoman Samuel Kurniawan, S.E., S.H., M.H., C.L.A., selaku kuasa hukum Wayan Sangging ditemui usai sidang di Pengadilan Negeri Klungkung pada Senin 17 Maret 2025 mengungkap fakta baru terkait kepemilikan tanah yang disengketakan. Samuel menjelaskan bahwa dalam agenda pemeriksaan saksi tambahan dan bukti tambahan, ditemukan bahwa sebagian tanah kliennya, I Wayan Sangging, yang sebelumnya diklaim tidak diketahui keberadaannya, ternyata dikuasai oleh tergugat.
“Di dalam persidangan ini ada satu fakta yang terkuak yaitu bahwa sebagian dari tanah milik klien kami yang tadinya tidak ditemukan dan pihak tergugat mengaku tidak tahu menahu, ternyata tanah itu juga dikuasai oleh tergugat dengan bukti berupa sertifikat hak milik nomor 36 yang sudah kami serahkan sebagai bukti tambahan,” ujarnya.
Selain itu, Samuel menyoroti keberadaan saksi yang dihadirkan oleh pihak tergugat yang dinilai tidak netral. Tergugat justru menghadirkan anak buahnya sebagai saksi yang objektivitasnya diragukan. “Jelas merupakan saksi yang tidak boleh menyampaikan kesaksian di persidangan karena objektivitasnya diragukan. Tidak mungkin dia akan menyampaikan keterangan yang merugikan bosnya sendiri,” tambahnya.
Menurutnya, fakta ini semakin diperkuat dengan kesaksian yang membuktikan bahwa saksi tersebut juga ikut menjaga tanah yang menjadi objek sengketa. “Dan hari ini kami buktikan dengan juga sejumlah saksi yang menerangkan bahwa tanah itu juga dijaga oleh si saksi ini sendiri sehingga sangat lucu sekali kalau dia diminta untuk bersaksi di persidangan, sudah jelas dia hanya memberikan hal-hal yang menguntungkan untuk bosnya sendiri. Sangat jelas unsur subjektivitasnya, terlihat di dalam setiap keterangannya,” tegasnya.
Samuel juga mengungkap bahwa kliennya tidak pernah menjual tanahnya kepada Dewa Ketut Sudana, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sedahan di Kecamatan Nusa Penida. Ia bahkan menduga adanya praktik jual beli fiktif dalam kasus ini.
“Pak Sugianto itu adalah seorang investor yang membeli tanah klien kami melalui pemilik yang tidak sah, karena Pak Dewa Ketut Sudana itu membeli dengan cara jual-beli fiktif, dimana klien kami tidak pernah menjual tanah itu kepada Dewa Ketut Sudana,” ungkapnya.
Ia juga menuding adanya pemalsuan dokumen dengan penggunaan cap jempol yang bukan milik kliennya. Diungkapkannya bahwa terdapat bukti adanya banyak cap jempol yang dibubuhkan di dalam dokumen-dokumen yang dibawa oleh pihak tergugat dua yaitu kantor pertanahan Klungkung. “Itu sebagian besar dikonfirmasi oleh klien kami yang tadi menyaksikan itu jelas bukan cap jempol yang bersangkutan. Bukan cap jempol klien kami,” jelasnya.
Samuel memastikan bahwa pihaknya akan mengambil langkah hukum terkait dugaan pemalsuan dokumen ini. “Jadi sehingga setelah ini kami akan melakukan upaya hukum untuk melaporkan adanya bukti palsu, pembuatan bukti palsu dan penggunaan bukti palsu tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kliennya kehilangan tanah seluas 6,6 hektare di wilayah Karang Dawa, yang dikenal sebagai Kelingking Beach, hanya karena meminjam uang sebesar Rp2 juta. Ia mengungkapkan bahwa dalam dokumen-dokumen yang diajukan oleh pihak tergugat, terdapat banyak cap jempol yang diduga bukan milik kliennya.
Berdasarkan pengakuan kliennya, yang bahkan bersedia disumpah secara agama, ia hanya pernah membubuhkan cap jempol sekali pada sebuah kertas saat melakukan peminjaman uang. Namun, melalui serangkaian proses yang dilakukan oleh Dewa Ketut Sudana, tanah tersebut beralih kepemilikan tanpa sepengetahuan pemilik sahnya.
“Pak Wayan Sangging ini menegaskan dia hanya memberikan satu kali jempol di sebuah kertas ketika meminjam uang senilai 2 juta, dengan proses yang dilakukan oleh pihak Dewa Ketut Sudana akhirnya klien kami kehilangan tanah seluas 6,6 hektare di wilayah Karang Dawa yang kita kenal sebagai nama Kelingking Beach,” ungkapnya.
Samuel mengungkapkan adanya kejanggalan hukum dalam sertifikat tanah yang menjadi objek sengketa. Sertifikat tersebut awalnya diterbitkan atas nama ayah penggugat, yang telah meninggal puluhan tahun sebelumnya, sebelum akhirnya dialihkan dari Dewa Ketut Sudana ke Sugianto.
Dalam persidangan, terungkap bahwa pemohon penerbitan sertifikat bukanlah pihak yang seharusnya, melainkan tergugat satu. Fakta ini menunjukkan adanya penyimpangan data dalam proses administrasi pertanahan, yang semakin memperkuat dugaan adanya cacat hukum dalam penerbitan sertifikat tersebut.
“Sangat cacat hukum karena didasarkan pada akta jual beli yang mana di dalam pemeriksaan yang kami lihat dalam persidangan akta jual beli yang diterbitkan tersebut penuh dengan pelanggaran,” jelasnya.
Selain itu, Samuel menyoroti berbagai kesalahan dalam akta jual beli yang diajukan oleh tergugat. Ia mengungkapkan bahwa identitas penjual tidak dicantumkan secara jelas, bahkan tanpa nomor induk KTP dan tanggal lahir yang valid. Terdapat kesalahan dalam penyebutan nama, di mana dalam dokumen tertulis “I Sangging” bukan “I Wayan Sangging.” Kejanggalan semakin mencolok ketika dalam akta tersebut, penjual disebut bertindak atas nama ayahnya yang telah lama meninggal. Hal ini dinilai mustahil secara hukum, karena seseorang yang telah wafat tidak dapat memberikan kuasa dalam transaksi jual beli.
“Dan disitu disebutkan bertindak untuk atas nama bapaknya yang sudah meninggal. Jelas itu sesuatu yang tidak mungkin. Kuasa dari orang yang meninggal tidak mungkin,” katanya.
Terkait dugaan pembuatan dan penggunaan bukti palsu dalam persidangan tersebut, Kurniawan memastikan akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Bali. Proses penyelidikan lebih lanjut akan melibatkan laboratorium forensik untuk membuktikan keabsahan dokumen yang dipermasalahkan.
Samuel juga mengungkapkan bahwa pihaknya turut menyertakan camat yang saat itu membuat akta jual beli serta seorang notaris di Klungkung sebagai tergugat dalam perkara ini. Namun, keduanya tidak pernah hadir dalam persidangan.
Ia juga membenarkan bahwa kliennya, Wayan Sangging, tidak dapat menghadiri sidang. Dengan usia yang telah mencapai 82 tahun dan kondisi tidak bisa membaca maupun menulis, kliennya tetap dalam keadaan sehat. “Betul, klien kami saat ini berusia 82 tahun. Tidak bisa baca tulis, tapi tetap sehat,” Katanya.
Dalam persidangan, nama I Wayan Soka atau Gurun Suka sering disebut oleh pihak tergugat sebagai saksi yang mengetahui adanya proses jual beli. Namun, Samuel menyatakan bahwa saksi tersebut justru tidak mengetahui adanya transaksi jual beli. Gurun Suka, yang merupakan warga Karang Dawa, hanya sebatas mengantar Wayan Sangging ke rumah Dewa Ketut Sudana. Bahkan, ia tidak menyaksikan langsung proses pembubuhan cap jempol dalam dokumen yang dipermasalahkan.
Saat peristiwa peminjaman uang terjadi, Gurun Suka disebut sempat meninggalkan lokasi karena merasa tersinggung terhadap Wayan Sangging, kemungkinan karena tidak menerima upah setelah mengantarkan. “Justru Wayan Soka ini tersinggung dengan Pak Sangging. Mungkin karena tidak dikasih upah mengantar atau bagaimana lalu ditinggal,” ungkapnya.
Samuel menegaskan bahwa kliennya hanya ingin mendapatkan kembali hak atas tanahnya. “Klien kami menolak untuk diberikan ganti rugi karena sangat sulit untuk menilai berapa kerugian yang ada sekarang. Klien kami hanya berharap keadilan agar tanah itu diperoleh kembali,” pungkas Kurniawan.
Setelah agenda pemeriksaan saksi dan bukti tambahan ini, persidangan akan memasuki tahap kesimpulan sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Sementara itu Made Adi Mustika selaku Kuasa Hukum Dewa Ketut Sudana (Mantan Kepala Sedahan Nusa Penida) membantah semua klaim pihak Wayan Sangging. Dia menegaskan ada proses jual beli tanah yang menjadi sengketa tersebut.
Mustika menegaskan bahwa keberadaan akta jual beli telah dibuktikan dalam persidangan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Klungkung. “Tadi sudah dibuktikan oleh BPN bahwa itu ada akte jual belinya,” ujarnya.
Terkait dugaan cacat prosedural, Mustika menegaskan bahwa hal tersebut harus ditanyakan langsung kepada BPN. “Itu proses administrasi yang bisa menjelaskan adalah BPN,” katanya.
Ia juga memastikan bahwa kliennya memiliki bukti akta jual beli yang sah. “Iya karena ada bukti akta,” tegasnya.
Mustika mengungkapkan bahwa dalam akta jual beli, tanah yang disengketakan seluas 5 hektare dibeli oleh Dewa Ketut Sudana seharga Rp6 juta pada tahun 1995. Ia juga menegaskan bahwa luas tanah yang dipermasalahkan adalah 5 hektare, bukan 6,6 hektare seperti yang diklaim pihak penggugat.
“6 juta di akte itu. Untuk 5 hektare. Itu tahun 1995. Yang menjadi sengketa sekarang 5 hektare, bukan 6,6. Jadi yang 5 hektare itulah yang dibeli oleh Pak Dewa Ketut Sudana,” ujarnya.
Mustika juga mengaku tidak mengetahui adanya pembicaraan antara kliennya dan penggugat mengenai pemberian ganti rugi. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak mengetahui apakah pernah ada kesepakatan atau pembicaraan terkait hal tersebut.
“Oh, enggak tahu saya pembicaraan itu. Karena pembicaraan apa, mengganti itu, enggak tahu saya,” tutupnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik, terutama karena melibatkan salah satu destinasi wisata paling terkenal di Bali. Jika terbukti ada perbuatan melawan hukum, kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah mereka di tengah pesatnya perkembangan pariwisata. (dan)