Opini : TAHURA Ngurah Rai, Keajegan Modernitas Berbasis Kebudayaan
Pura Dalem Pengembak yang Disucikan Masyarakat Sanur dan Sidakarya
TAHURA Ngurah Rai telah lama mendunia, sebagai simbol dari Bali dan juga Indonesia tentang isu-isu penting masyarakat global: pembangunan ramah lingkungan, pembangunan berkelanjutan, industrialisasi dengan zerro carbon, ekonomi hijau dan ekonomi bersih. Isu yang sangat seksi dewasa ini, di tengah krisis iklim yang membahayakan keberlanjutan sistem ekologi dan bahkan masa depan umat manusia. Krisis iklim dalam pandangan Sekjen PBB Antonio Guteres, krisis iklim yang jika tidak diwaspadai bisa menuju ke neraka iklim.
Masih segar dalam ingatan kita, KTT G20 di Nusa Dua yang menghebohkan itu, 15 – 16 November 2022 memilih TAHURA Ngurah Rai sebagai venue bagi pemimpin dunia untuk melakukan penanaman mangrove, sebagai simbol dan komitment dunia dalam merespons krisis iklim, yang kemudian tertuang dalam Deklarasi Bali.
TAHURA Ngurah Rai yang telah menjadi simbol global sebagai upaya masyarakat global dalam mengantisipasi krisis iklim yang bisa berubah menjadi neraka iklim, MENJADI TERNODAI, dengan rencana proyek terminal LNG menggunakan lahan mangrove seluas 12 ha di blok sekitar Sanur – Sidakarya.
Banyak pihak menjadi terkejut dan terperangah, menyimak pernyataan dari Walhi Bali dalam podcast di metrobali, yang menyatakan hutan mangrove seluas 12 ha telah dialihfungsikan dari blok perlindungan menjadi blok khusus, sehingga memungkinkan blok yang telah berubah peruntukannya ini menjadi lokasi terminal LNG. Menurut Walhi Bali, pemberian saham ke Perusda Bali sebesar 20 persen, pantas diduga sebagai kompensasi terhadap perubahan peruntukan 12 ha lahan mangrove di atas.
Timbul pertanyaan publik, tidakkah kompensasi 20 persen saham ini merupakan bentuk penyuapan terselubung untuk menggolkan proyek?.
Kalau kita tetap bersepakat terhadap strategi pembangunan Bali berbasis kebudayaan, ramah lingkungan dan ramah budaya, sebut saja modernitas berbasis kebudayaan, sudah semestinya kawasan hutan mangrove seluas 12 ha yang berada di kawasan Sanur – Sidakarya, dimana genah Pura Dalem Pengembak berada, dikembalikan fungsinya sebagai blok perlindungan, dan rencana proyek terminal LNG dicarikan tempat lain, yang tidak merusak hutan dan mengganggu keasrian dan kesucian Pura. Sebab di belakang Pura Dalem Pengembak, ada ” Pura” Tirtha Empul dan Pura Merta Sari.
Jro Gde Sudibya, ekonom dan pemerhati lingkungan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.