Sistem hukum yang berlaku di Indonesia masih terkesan penjara merupakan tujuan akhir dari sebuah kejahatan. Tak heran Lapas dan Rutan di Indonesia sebagian besar mengalami kelebihan kapasitas (over capacity). Hal ini dikarenakan jenis jenis kejahatan baik itu mencuri, pencabulan, hingga kejahatan besar seperti korupsi dan terorisme sama mendapatkan hukuman pidana berupa pidana kurungan, sehingga terjadi pemadatan di Lapas dan Rutan.

Namun beberapa tahun terakhir ini pemikiran tentang keadilan restoratif mulai digaungkan. Undang-undang sebelumnya yakni UU RI No 12 tahun 1995, telah mengambil konsep reintegrasi sosial sebagai pengganti konsep pembalasan dan penjeraan yang kemudian kita kenal dengan Pemasyarakatan dengan fokus pengembalian narapidana ke masyarakat. Kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru yakni UU RI No 22 tahun 2022 yang memperkuat konsep keadilan restoratif yang dianut dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan pembaruan hukum pidana nasional Indonesia.

Keadilan restoratif atau Restorative Justice merupakan penyelesaian kasus pidana dengan melibatkan pelaku tindak pidana, korban, keluarga korbaan, serta pihak-pihak lain yang terkait seperti masyarakat dan instansi terkait. Dimana tujuan dari keadilan restoratif ini adalah agar tercapai keadilanbagi seluruh pihak, yang dalam pelaksanaannya “mengganti” hukuman pelaku tindak pidana “dipenjara” menjadi bentuk lain yang bersifat kekeluargaan yang pada umumnya berupa “ganti rugi”. Restorative Justice ini yang diharapkan dapat mengganti kerugian-kerugian korban tindak pidana. Pada intinya Restorative Justice ini merupakan suatu mekanisme hukum yang dapat digunakan untuk mentransformasikan hukum pidana menjadi hukum perdata berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait.

Dengan adanya Restorative Justice ini diharapkan mampu menekan jumlah pelaku tindak pidana yang masuk ke dalam Lembaga pemasyarakatan, dikarenakan hasil dari Restorative Justice ini bukanlah pidana kurungan yang artinya semakin sedikit pelaku kejahatan yang dijebloskan ke dalam penjara melainkan mencari alternatif lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Namun dalam pelaksanaanya Restorative Justice ini masih belum optimal di Indonesia. Maka dari itu implementasi dari Restorative Justice ini akan dijelaskan melalui Analisa SWOT. Analisa ini efektif untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang kemudian dianalisa untuk mengetahui efektifitas pemberlakuan Restorative Justice di Indonesia. Analisa strategi SWOT akan dibagi menjadi dua faktor yaitu: Faktor Strategis Internal (dari dalam) dan Faktor Stategis Eksternal (dari luar). Berikut ini adalah analisis SWOT tentang restorative justice di Indonesia:

Analisis Faktor-Faktor Internal

  1. Kekuatan:

Restorative justice dapat menekankan pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku kejahatan dan korbannnya, sehingga dapat membantu mengurangi kemungkinan tindakan balas dendam dan meningkatkan keamanan masyarakat. Restorative justice juga dapat membantu mengurangi beban sistem peradilan pidana saat ini yakni penjara yang sudah over kapasitas, karena mendorong penyelesaian kasus di luar pengadilan. Kemudian pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan dan peraturan terkait restorative justice ini, seperti Undang Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan hingga Kepdirjen Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif sehingga memberikan dukungan bagi implementasi program ini.

  1. Kelemahan:

Masih minimnya pemahaman masyarakat dan praktisi hukum tentang restorative justice, sehingga dapat menghambat implementasi program ini. Pelaku dan korban kejahatan masih awam dengan adanya Restorative Justice ini dan menganggap pidana kurungan adalah hukuman terbaik dan setimpal dengan kejahatan pelaku. Kemudian kurangnya dukungan keuangan dan sumber daya manusia dari pemerintah, sehingga sulit untuk memperluas jangkauan program ini. Keterbatasan dalam pemilihan kasus yang cocok untuk dipecahkan dengan restorative justice, karena tidak semua kasus dapat dipecahkan melalui pendekatan ini.

Analisis Faktor-Faktor Eksternal

  1. Peluang:

Restorative justice dapat menjadi alternatif bagi hukuman penjara yang terus meningkat jumlahnya, sehingga mengakibatkan overcapacity di sejumlah Lapas dan Rutan di Indonesia. Kemudian Indonesia memiliki tradisi budaya yang kuat dalam penyelesaian konflik secara musyawarah dan kekeluargaan, sehingga dapat mendukung implementasi restorative justice. Adanya kebutuhan yang meningkat untuk penyelesaian konflik secara efektif dan efisien, yang dapat menjadi peluang bagi restorative justice untuk diterapkan di berbagai wilayah.

  1. Ancaman:

Tidak adanya dukungan yang kuat dari pemerintah dapat menghambat implementasi program Restorative Justice di Indonesia. Masih adanya resistensi dari masyarakat dan praktisi hukum yang lebih condong pada hukuman pidana, sehingga sulit untuk memperluas jangkauan program ini. Kemudian kurangnya kesadaran tentang pentingnya restorative justice sebagai sebuah alternatif dalam kasus kejahatansehingga menjadikan penghambat penerimaan program ini di kalangan masyarakat.

Kesimpulan dari penerapan Restorative Justice ini adalah Indonesia sudah memilih langkah yang tepat dalam memperbaiki sistem pemidanaannya. Karena tidak selalu tujuan akhir dari suatu tindak pidana kejahatan adalah hukuman kurungan. Terdapat cara alternatif yang masih menguntungkan kedua ihak baik pelaku dan korban kejahatan yakni dengan Restorative Justice. Program ini sudah tepat tinggal pengimplementasian di kalangan masyarakat, namun untuk mencapai hasil yang optimal, perlu ditingkatkan kembali kesadaran masyarakat tentang program ini, kemudian SDM atau raktisi hukum yang paham tentang program ini dan yang terpenting peran pemerintah untuk mewadahi pelaksanaan program Restoratif Justice ini.

 

Penulis :

Sang Agus Kurnia Abhiwikrama
Taruna Utama di Politeknik Ilmu Pemasyarakatan