Opini : Renungan Kebudayaan, Candu Kekuasaan, Feodalisme, Kegagalan Merespons Perubahan
Denpasar (Metrobali.com)-
Lanskap politik kita dalam beberapa tahun terakhir ditandai oleh: turunnya indeks demokrasi, berjalan seiring dengan meningkatnya indeks persepsi korupsi. Ada korelasi antara demokrasi yang kualitasnya menurun dengan meningkatnya korupsi. Sebagian pengamat politik menyebutnya, politik menjadi semakin “skrup” dari industri kekuasaan. Beratnya, jika kita merujuk pemikiran ekonom pemenang hadiah Nobel berkebangsaan Austria, dalam bukunya yang nyaris klassik, “Asian Drama”, “drama” kemiskinan di Asia, rendahnya disiplin, rapuhnya penegakan hukum, membuat politik nyaris “hutan belantara”, “homo homini lupus” dimana faktor penguasaan sumber daya menjadi faktor penentu dalam kompetisi politik yang “ganas”. Candu kekuasaan telah merontokkan sistem nilai: kejujuran, fair “competiton”, pengabdian, diganti dengan prilaku yang serba boleh, kecurangan, semangat untuk mengambil dan bahkan “mencuri”. Prilaku yang semakin dianggap lazim, merujuk ke pemikiran antropolog ternama UI Prof.Kuntjoroningrat, sikap mental: “aji mumpung”, menerabas dan ingin cepat dapat hasil (dengan mengabaikan proses). Akibatnya, korupsi menjadi “budaya”, tidak ada rasa bersalah dan rasa malu bagi pelakunya. Bahkan di sana-sini dipamerkan dengan model flexing di medsos. Candu kekuasaan, dalam negara lunak (soft state, meminjam istilah Gunnar Myrdal), beririsan dengan dengan sistem feodalisme yang mengajar kuat (ratusan tahun), membuat bawah sadar banyak orang, kekuasaan digenggam harus dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, “inner circle” kepentingan bercokol sebagai “gurita” saling melindungi.
Dalam trend global yang sedang berlangsung, telah menjadi tuntutan global: penghargaan terhadap hak-hak politik, HAM, tegaknya etika lingkungan yang merupakan keniscayaan dalam krisis iklim yang berlangsung, membuat prilaku sosial politik di atas, gagal merespons perubahan. Kegagalan dalam merespons perubahan dalam lanskap politik global yang volatile, nyaris identik dengan kekalahan sebuah negara bangsa. Ketertinggalan kita yang jauh dari China dalam pengembangan industri, “high tech” dan juga dalam produktivitas pangan, sudah merupakan bentuk kekalahan, kekalahan yang telak.
Oleh : I Gde Sudibya, pembelajar dan pengamat kebudayaan.