Bung Karno

Oleh : Jro Gde Sudibya

Prilaku politik purba SARA, pada dasarnya menggambarkan kemunduran dalam berpolitik, bahkan dianggap sebagai sebuah kedunguan dalam berpolitik, karena ketidak mampuan para politisi mengangkut isu-isu politik yang lebih “modern” tentang: ketimpangan pendapatan, ketidak adilan sosial, kemiskinan struktural, ketidak adilan jender, kerusakan lingkungan, ketimpangan akses pendidikan.

Sehingga untuk mudahnya dalam upaya peningkatan elektabilitas dan meraup suara pemilih, maka “dihidupkanlah” isu purba SARA, suku, ras dan agama. Sebenarnya, isu yang ssngat berbahaya bagi negeri ini yang plural dan bercirikan keragaman. Pelibatan PNS juga sangat dilarang dalam politik praktis.

Realitas psiko politik ini sangat disadari oleh Soekarno dkk. Sehingga wacana yang ditumbuhkan, dikembangkan dalam nation state Indonesia adalah paham kebangsaan yang plural, menghargai tinggi perbedaan, perbedaan yang disyukuri tidak untuk dipertentangkan, membangun persatuan dan kesatuan, gotong royong, “holopis kuntul baris”. Tidak mengenal wacana, “kamus” politik, bawah sadar, dikotomi minoritas – mayoritas dalam rumah besar bangsa Indonesia. Perbedaan dan kompetisi politik berbasis adu gagasan tentang isu keadilan sosial dan isu penting lainnya, diakui dan dikembangkan bertumbuh, tetapi isu sensitif SARA dikelola dengan hati-hati nan bijak.

Dalam pandangan politik Soekarno, penonjolan politik identitas, sebagai instrumen pemenangan pemilu, dalam politik pragmatis transaksional, menghalalkan semua cara -Machiavelien- adalah bentuk pengingkaran dan bahkan pengkhianatan terhadap politik kebangsaan yang diperjuangkan susah payah oleh Soekarno semasa hidupnya.

Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI.Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi politik.