Buleleng (Metrobali.com)-

Belakangan pasca pandemic Covid-19 semakin banyak permasalahan bermunculan terkait pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali. Terindikasi dari banyaknya Pengurus LPD yang bermasalah dengan hukum yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan LPD. Banyak modus Fraud/Koruptif yang bermunculan dalam pengelolaan LPD, karena lemahnya pengawasan seperti, pemberian kredit melebihi pagu, kredit fiktif, kredit besar tanpa jaminan, pemberian bunga deposito dan tabungan yang tidak wajar, mengembangkan usaha diluar simpan pinjam, manipulasi laporan keuangan, deposito antar LPD, dan lain-lain. Jadi dalam hal ini, terjadi pengabaian terhadap prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit LPD menjadi sumber masalah LPD selama ini.

LPD dahulunya dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Bali dengan Keputusan Gubernur Bali No. 972 Tahun 1984 (terbaru Pergub Bali No. 11/2013), dengan memberikan kewenangan kepada Desa Adat untuk membentuk usaha pengelolaan keuangan Masyarakat Adat menggunakan konsep kearifan lokal dan berorientasi sosial-budaya berdasarkan Awig-Awig/Perarem, dengan tujuan mensejahterakan Masyarakat Adat setempat. Kedudukan LPD sangat ekslusif, dimana LPD dikecualikan dalam UU No. 1/2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro/LKM (Pasal 39 Ayat (3)) yang menyatakan LPD tidak tunduk pada UU LKM dan keberadaannya diakui berdasarkan Hukum Adat. Politik hukum saat itu menganggap LPD sangat unik dalam membangkitkan kearifan lokal demi kemajuan Masyarakat Adat.

Lembaga Perkreditan Desa/LPD (konsep serupa yang dimiliki Sparkassen Savings Banks – Germany), merupakan konsep kemandirian perekonomian Masyarakat Adat Bali, awalnya sangat bagus dan sangat membantu Masyarakat Adat dalam hal mencari solusi dalam permasalahan ekonomi, namun ditengah perkembangannya jangkauannya LPD mulai menyasar masyarakat diluar desa adatnya, serta LPD berusaha mengembangkan usahanya diluar sektor simpan pinjam. Sejalan dengan itu, LPD berkembang mengikuti bisnis proses usaha sektor keuangan (mengikuti alur bisnis Bank komersial) dengan orientasi profit (profit oriented), namun dalam usahanya LPD mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan (simpan/pinjam), yang berdampak menimbulkan banyak permasalahan. Hal tersebut diakibatkan Awig-Awig/Perarem yang selayaknya mengatur alur usaha LPD secara ketat tidak mampu menjangkau sepenuhnya, dan bahkan banyak LPD tidak memiliki Awig-Awig/Perarem sebagai dasar keberadaannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pergub.

Seiring berjalannya waktu LPD mengalami “ketersesatan” dalam pengelolaan usahanya. Ketersesatan ini bersumbar pada kurang pahamnya prajuru/pengelola LPD dalam menjalankan ruang lungkup usahanya. Yang awalnya kekhususan itu diberikan untuk mengelola Simpan Pinjam Masyarakat Adat (ruang lingkup Desa Adat) kini menjangkau lebih luas bahkan masyarakat Luar Desa Adat yang sejatinya tidak terikat dengan Hukum Adat (Awig-Awig/Perarem). Jangkauan usaha LPD sudah menjangkau masyarakat umum, sehingga dampak jangkauan ini tentu mengingkari kekhususan LPD sebagaimana Pasal 39 Ayat (3) UU 1/2013. Dari sisi dasar hukum, regulasi yang menjadi tuntunan LPD yaitu: Pergub Bali No. 11/2013 jo. Pergub Bali No. 44/2017 yang seharusnya arah kebijakan dalam pembuatan Awig-Awig/Perarem LPD, belum membarikan batasan ruang lingkup kerja LPD. Sehingga pengurus LPD masih berfikiran bahwa LPD dapat menjangkau masyarakat umum (diluar Desa Adat).

Pasca terbitnya Perda No. 4/2019 Tentang Desa Adat Bali, banyak para Prajuru Adat dan bahkan Masyarakat Adat keliru memahami eksistensi Desa Adat dalam tata aturan-negara. Hak otonomi mengatur rumah tangga sendiri dijadikan alasan bahwa Desa Adat dapat melakukan apapun sesuka hati tanpa mempertimbangkan benturan dengan hukum positif, sepanjang tertuang dalam Awig-Awig. Sehingga dalam pengelolaan LPD mereka menganggap dapat mengelola LPD sesuka hati tanpa memperhatikan konsekwensi benturan dengan hukum positif dan benturan dengan hak-hak para pihak yang berkepentingan.

Dalam Perkembangannya, LPD berlomba-lomba bersaing mencari keuntungan mengejar laba akhir tahun yang besar, namun mengabaikan prinsip kehati-hatian. Sehingga berdampak pada pertaruhan terhadap kesejahteraan/perekonomian masyarakat adatnya. Selain itu kekurangpahaman terhadap eksistensi dan keberlakuan hukum adat juga menjadi alasan ketersesatan LPD, dimana mereka mengganggap segala permasalahan dalam LPD dapat diselesaikan dengan hukum adat, padahal keberlakukan hukum adat adalah hanya menjangkau masyarakat adatnya. Peristiwa hukum yang terjadi dalam pengelolaan LPD yang berkaitan atau berbenturan dengan masyarakat diluar adat, tentu tidak akan bisa diselesaikan dengan hukum adat daerah setempat secara utuh.

Menurut penulis, perlu dilakukan perbaikan untuk merevitalisasi eksistensi LPD dari sisi “dasar hukum” yang dapat mengarahkan LPD hendaknya dibawa kemana. Sehingga saat ini ada 2 (dua) pilihan terkait “arah kebijakan”, apakah LPD tetap dengan Konsep Tradisional yang tunduk dengan Hukum Adat dalam pengelolaannya atau LPD mengikuti Konsep Moderen menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha sektor keuangan.

LPD dengan Konsep Tradisional : tentu terfokus memiliki tujuan mensejahterakan Masyarakat Adatnya, sehingga ada batasan ruang lingkup kerja – hanya sebatas Krama Adat. Yang menjadi ujung tombak pengawasan adalah Prajuru Adat (Bendesa Adat) dan LP-LPD. Dengan dibatasi ruang geraknya maka usaha LPD memiliki potensi resiko kecil (hanya lingkup Desa Adat).

Berbeda halnya dengan, LPD dengan Konsep Moderen: orientasi usaha LPD tentu profit oriented murni bisnis mengejar laba. Konsep ini memiliki ruang lingkup jangkauan usaha masyarakat umum (dapat menjangkau masyarakat luar adat) namun harus tunduk dengan aturan yaitu: UU No. 4/2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan jo. UU No. 1/2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Sehingga pengaturan, pengawasan dan ijin usahanya mutlak ada pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan tunduk pada aturan turunannya. Oleh karena ruang lingkup usaha LPD masyarakat umum, maka akan memiliki potensi resiko luas berdampak sistemik. Lebih lanjut dalam hal pembinaan dan pengawasan maka LKM dengan sekala usaha kecil ada pada Pemda Kab/Kota, sedangkan usaha sekala menengah keatas ada dibawah OJK. Keuntungan LPD dengan konsep Moderen, tabungan dan deposito masyarakat dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan LKM yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah bersama dengan LKM.

Pasca disahkannya UU No. 4/2023 jo UU No. 1/2013, maka selayaknya semua usaha yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan masyarakat (termasuk LPD) merujuk pada aturan tersebut. Supaya LPD dapat bekerja dengan tingkat kepercayaan dan keamanan yang tinggi (sesuai dengan ketentuan), maka selayaknya arah kebijakan/peraturan yang mengatur tata kelola LPD harusnya dibuat merujuk pada ketentuan yang diatur dalam UU No. 4/2023 jo UU No. 1/2013 dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Sehingga LPD adalah Lembaga Keuangan Mikro/LKM yang pemiliknya adalah Badan Usaha Milik Desa-Adat dengan kepemilikan saham minimal 60%. Selain itu terdapat kewajiban-kewajiban dalam pengelolaan LPD yang searah dengan aturan terkait pengembangan dan penguatan sektor keuangan (Pasal 204 Angka 1, 2 dan 3 UU No. 4/2023).

Dari dua opsi “arah kebijakan” tersebut diatas, mungkin saja dalam proses perkembangan LPD kedepan, Pemerintah Daerah dapat memayungi kedua opsi tersebut. Dimana ada kebijakan terhadap LPD yang beroperasi secara tradisional (bagi LPD yang asetnya kecil), dan bagi LPD memiliki asset besar (siap menjadi LKM) maka diarahkan untuk mengelola LPD dengan pendekatan Moderen. Sehingga Desa Adat dapat mengembangkan usahanya secara professional demi kemandirian perekonomian Masyarakat Adat di Bali. Sekarang tergantung Pemerintah Daerah, mau diarahkan kemana LPD di Bali? Mari kita posisikan LPD dan Desa Adat secara bijaksana. GS

Penulis, Anak Agung Ngurah Jayalantara, SH, MH

(Dosen Luar Biasa Fakultas
Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha)