Masih segar dalam ingatan kita bersama, kerasnya dampak pandemi Covid-19 terhadap pariwisata Bali, ekonomi Bali tumbuh negatif 9.3 % tahun 2020, negatif sekitar 3 % tahun 2021, positif sekitar 3 % tahun 2022, tetapi pertumbuhan ekonomi ini lebih kecil dari rata-rata nasional sekitar 5 %. Triwulan ke tiga tahun 2022 mulai membaik, wisatawan dalam jumlah banyak mulai berdatangan, tetapi harga jasa pariwisata belum pulih sebelum pandemi, sehingga margin keuntungan bagi pelaku usaha masih tipis, dibarengi dengan beban hutang plus bunga di masa pandemi yang tinggi.
Tampaknya telah lahir krisis baru dalam industri pariwisata Bali, paling tidak karena tiga hal.

Pertama, tumpang tindihnya kebijakan politik dengan kebijakan pariwisata, terbukti dari penolakan Gubernur Bali terhadap penyelenggaraan turnamen U20 yang menggemparkan itu, merusak citra, image dan brand Bali sebagai DTW dunia yang toleran, ramah dan memberikan impresi damai. Berganti wujud menjadi tidak toleran, berprasangka dengan muatan streotipe.

Kedua, munculnya prilaku wisatawan yang sebut saja nyleneh dan juga aneh, bisa saja menggambarkan puncak gunung es dari kebijakan pariwisata yang tidak terkoordinasi (tingkat kabupaten dan provinsi, tingkat provinsi dan kementrian pariwisata), kurang melibatkan stake holders pariwisata, reaksi berlebih, tidak terkontrol dan cendrung emosional dalam merespons kejadian ekstrem di lapangan, tanpa basis data yang memadai dan visi yang jelas, dan kemungkinan bawah sadar yang menggampangkan: “badai pasti berlalu, tokh wisatawan akan datang”. Fenomena pejabat publik yang tidak kompeten dalam mengelola industri pariwisata.

Ketiga, ketidak jelasan visi masa depan pariwisata Bali, di tengah paragdima baru pariwisata pasca pandemi, serta geo ekonomi dan geo politik global yang rentan, diperkirakan berdampak significan terhadap pertumbuhan dan trend pariwisata dunia.

Yang tampak di permukaan yang dibaca dan “ditonton” publik, manuver mati-matian pejabat publik tertentu untuk menaikkan elektabilitas politik, dan kesannya tidak hirau, “masa bodo” (ignorance) terhadap industri pariwisata Bali dan masa depannya.

Oleh : Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom dan berpengalaman sebagai konsultan di industri pariwisata Bali.