Sense of Crisis dalam Mengelola Industri Pariwisata Bali. Industri pariwisata dan sektor-sektor ekonomi yang bertumbuh akibat pariwisata berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap pendapatan masyarakat, PDRB Bali.
Industri yang mesti dikelola hati-hati, cerdas, bervisi ke depan karena menyangkut “payuk jakan” sebagian besar masyarakat Bali.
Tetapi amat disayangkan, ucapan yang disampaikan oleh Gubernur Koster menyangkut pembatalan turnamen U20 dan turnamen internasional bola volli pantai, menganggap enteng arti image, citra dan brand Bali sebagai DTW dunia.
Ini cara pikir yang berbahaya, karena image, brand dan bahkan equity brand merupakan “jantung” penting bagi DTW dunia jika ingin terus berkembang, tumbuh berkelanjutan, meningkakan kemampuan saing dengan DTW dunia lainnya, di era paradigma baru pariwisata pasca pandemi. Di samping lanskap ekonomi global yang tidak pasti, volatile dengan bayang-bayang resesi ekonomi.
Mengelola DTW tingkat dunia, tidak bisa dengan impresi perlu dan tidak perlu, apa lagi dari cara berpikir buruk, “toh wisatawan akan datang, karena keterkenalan Bali, sehingga perawatan destinations boleh sambil lalu dan seadanya”. Cara berpikir “polluted” dan berbahaya buat perekonomian Bali dan masa depannya.
Munculnya fenomena yang cukup aneh di lapangan (dalam sejarah pariwisata Bali kontemporer), wisatatan yang berlaku nyleneh dan di sana sini melanggar hukum, agaknya merupakan puncak “gunung es” dari kebijakan operasional lapangan yang perlu dikaji ulang.
Di sini arti penting Sense of Crisis dalam mengelola industri pariwisata Bali, dengan cirinya, pertama, jangan bermain api dengan image, brand, karena kerusakan image merupakan tanda-tanda awal kematian dari industri pariwisata. Kedua, mengelola realitas (reality) dari totalitas pelayanan sehingga menjadi :tune in ” dengan image yang dibangun, memerlukan kerjasama komprehensif dengan seluruh stake holders pariwisata, termasuk Kementrian Pariwisata. Pemda Bali tidak sanggup mengelolanya sendiri (seperti kesan yang timbul jika ada persoalan kritis di lapangan). Ketiga, politisasi pariwisata harus dihentikan, karena menyangkut nasib banyak orang, kesempatan kerja, pendapatan, penghasilan devisa, pengembangan SDM, citra Bali dan Indonesia di mata dunia.

Penulis :

Jro Gde Sudibya, ekonom,berpengalaman sebagai konsultan ekonomi termasuk di industri pariwisata Bali.