OPINI : Bali di Persimpangan Jalan, Sosialisme Religius VS Kapitalisme Sekuler
Oleh : Jro Gde Sudibya
Hari ini, Selasa, 9 Mei 2023, “nemu” raina Anggarkasih Dukut, rasanya baik untuk Kita berefleksi tentang tantangan Bali di ke kinian dan dampaknya ke masa depan.
Bali kini ada di persimpangan jalan, apa tetap bisa bertahan, dengan ciri dasariah kehidupan dan perekonomiannya yang sosialisme religius, dengan indikator, menyebut beberapa, pertama, satuan ekonomi di sektor pertanian dan kemudian perdagangan berskala kecil, produktif dan kenyal terhadap perubahan. Kedua, proses ekonomi yang sekarang populer dengan ekonomi berbagi, motif transaksi ekonomi tidak sebatas keuntungan, tetapi ada motif sosial terkandung di dalamnya. Perekonomian yang di dalam dirinya melekat unsur pemerataan. Ketiga, respek pada alam, proses ekonomi yang tidak merusak alam, dan motif ekonominya berbasis kepercayaan kuat pada keyakinan keniskalaan, spiritualitas.
Tantangan pada industrialisme pariwisata, yang bercirikan kapitalistik sekuler, dimana ide besar pembangunan berbasis kebudayaan dan kemudian jargon pariwisata budaya, tidak mampu “menjinakkan” kekuatan dashyat kapitalisme pariwisata yang berciri umum akumulasi kekuatan modal dan motif utama maksimalisasi keuntungan.
Kapitalisme sekuler, yang mencirikan kehidupan dan ekonomi, menyebut beberapa, pertama, tanah Bali menjadi komoditas ekonomi yang diperjual belikan secara bebas, dengan motif keuntungan, dengan konsekuensi, sawah terus tergusur, pemindahan hak milik tanah berlangsung massif, untuk sebagian krama Bali tidak lagi menjadi “tuan” dari tanah peninggalan leluhurnya. Dengan segala konsekuensi sosial kultural yang menyertainya.
Kedua, kerusakan lingkungan, sistem holistik alam semakjn massif, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (tanpa menjadi tahu, siapa yang menikmatinya), ironinya dari kebijakan pembangunan yang diinsiatifi oleh pemerintah dengan klaim untuk kepentingan umum (tanpa menjadi tahu, kepentingan umum mana ydm).
Ketiga, kesenjangan ekonomi semakin tajam, orang miskin dan rentan menjadi miskin terus bertambah, terjadi fenomema keterpinggiran budaya, ironinya dalam simbol-simbol luar yang semakin semarak.
Sebagian pejabat publik bangga dengan “keberhasilan” pembangunan fisik yang diklaim sebagai kemajuan peradaban, tanpa mampu menangkap ekspresi masyarakat dalam diam, karena terlalu bisingnya kehidupan politik.
Bali benar-benar berada di.persimpangan jalan.
Tantangan yang harus dijawab krama Bali generasi sekarang, apakah tetap “pageh” melestarikan spirit tradisinya yang amat sangat kaya, atau “melompat” lebih jauh ke kedalaman kapitalisme pariwisata, dengan materialisme, individualisme dan bahkan sekulerisme yang menyertainya.
Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat kebijakan publik.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.