Denpasar (Metrobali.com)-

Laut dan pantai kita sebagian masih tercemar, trumbu karang sumber utama budi daya ikan tidak terawat (nyaris terlantar) bahkan sedang meradanf.

“Penduduk di kawasan pesisir yang sebagian besar nelayan adalah mayoritas warga miskin. Tetapi sekarang bicara “tinggi” “Segara pinaka penglebur sahananing mala”. Ini omong kosong, ” kata pengamat kebijakan publik dan politik Jro Gde Sudibya menanggapi sarasehan tentang keberadaan laut saat ini.

Dikatakan, jangan-jangan sebagian dari kita, meminjam istilah Romo Mangun ” mengukir langit abstrak rokhani”, perbuatan yang sia-sia dan hanya buang buang uang dan waktu saja hanya untuk membuat sarahan.

Menurutnya, Negara kok membuat kegiatan yang otopis. Citra sebagai berhala? Apa kerjaan kelompok ahli (Pokli) yang titelnya berderet-deret, jumlahnya 33, menyamai jumlah total para dewa dalam simbol upakara di Bali. “Ategeping Dewa Caksi.

Sudibya mengatakan, kehiatan sarasehan ini hanya gincu. “Kita hebat dalam mengomongkan segala hal. Namun tidak hebat dalam tindakan,” katanya.

Menurutnya, hari ini Bali sudah sampai di titik nadir kerapuhan. Alam dan manusia tidak dirawat dengan baik. Ini negara kesejahteraan. Saya banyak masyarakat yang kekurangan gizi. Politik pencitraan lebih berbahaya tinimbang ganja. Dan, negara jualan dengan rakyatnya sendiri

Dikatakan, telah banyak tetua Bali mewariskan ethos kerja yang hebat, ethos kerja pertanian yang tangguh, Sistem Subak yang melegenda, proses berkesenian yang dikagumi dunia.

“Sekarang terlalu banyak diwacanakan, meminjam istilah orang Buleleng: “bes liunan munyi, sing ada ape De”. Terlalu banyak bicara, tuna prestasi otentik, seperti yang tampak dalam lanskap politik Bali dewasa ini. Tuna prestasi, karena tuna moral dan etika,” kata Jro Gde Sudibya.

Dikatakan, nyastra yang selalu diulas oleh oleh para pengawi dan penyastra Bali sejak ratusan tahun. Sekarang, umumnya diingkari dan dikhianati. Akibatnya? Prahara “menghampiri” Bali.

Dalam realitas sosial “keras” yang sedang menimpa Bali dewasa ini, ring raina Soma Tolu, 19/6, Sasih Kasa Caka 1945, Puja Wali ring Pura Batu Ngadeg, Besakih, pemujaan Tuhan Wisnu Cri Narayana, semestinya dijadikan momentum untuk mawas diri dan koreksi diri, dan juga menghentikan “pesta-pesta” politik lengkap dengan “ornamen” yang biasanya dipergunakan untuk upakara bhuta jajna, mesegeh. (Adi Putra).