Oka Cahyadi Wiguna: Larangan Penggunaan Sound System Jaga Esensi Spiritual dan Sosial dari Tradisi Ogoh-Ogoh
Foto: Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Made Oka Cahyadi Wiguna, atau yang akrab disapa Bro Oka.
Denpasar (Metrobali.com)-
Polemik mengenai penggunaan sound system dalam pengarakan ogoh-ogoh kembali mencuat di tengah masyarakat Denpasar. Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Ogoh-Ogoh menegaskan larangan penggunaan sound system dalam parade ogoh-ogoh, dengan tujuan menjaga nilai budaya serta mencegah potensi konflik yang dapat mencederai esensi perayaan Nyepi.
Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Made Oka Cahyadi Wiguna, atau yang akrab disapa Bro Oka, mengungkapkan bahwa diskursus mengenai Perda Pelestarian Ogoh-Ogoh lebih banyak berkutat pada pro dan kontra penggunaan sound system. Padahal, menurutnya, ada aspek fundamental yang lebih penting untuk dibahas, yaitu nilai keharmonisan dan pembangunan pasawitran (hubungan sosial antarwarga).
Bro Oka menegaskan bahwa penggunaan sound system dalam pengarakan ogoh-ogoh dapat memicu perselisihan di masyarakat. Hal ini bertentangan dengan makna upacara Tawur Agung Kesanga, yang sejatinya bertujuan untuk menyucikan dan menyeimbangkan kekuatan negatif menjelang Hari Raya Nyepi.
“Jika perselisihan terjadi akibat penggunaan sound system, maka itu sudah menyimpang dari tujuan utama Tawur Agung Kesanga, yaitu menciptakan keseimbangan dan harmoni. Kita harus memahami bahwa pelarangan ini bukan semata-mata membatasi, tetapi menjaga esensi spiritual dan sosial dari tradisi ogoh-ogoh,” ungkap Bro Oka dalam keterangannya Sabtu 15 Februari 2025.
Ia juga menekankan bahwa dalam Perda ini telah diatur solusi bagi komunitas yang tidak memiliki gamelan baleganjur. Mereka dapat bergabung dengan sekaa teruna (kelompok pemuda) di wilayah setempat yang memiliki gamelan, atau menggunakan instrumen tradisional lain sebagai alternatif. Menurutnya, hal ini bukan hanya menjaga nilai budaya, tetapi juga memperkuat komunikasi dan interaksi sosial di antara generasi muda.
“Bergabung dengan sekaa teruna bukan sekadar solusi teknis, tetapi juga cara membangun hubungan yang harmonis antarwarga. Dengan komunikasi yang baik, kita bisa mengimplementasikan nilai-nilai kebersamaan yang selaras dengan konsep Tri Hita Karana,” kata Bro Oka yang juga Wakil Ketua DPW PSI Bali itu.
Selain aspek budaya, Perda Nomor 9 Tahun 2024 juga mengatur pengembangan ogoh-ogoh dalam ranah ekonomi kreatif dan pariwisata. Dalam beberapa tahun terakhir, minat masyarakat terhadap miniatur ogoh-ogoh semakin meningkat, yang berpotensi menjadi produk ekonomi bernilai tinggi.
“Miniatur ogoh-ogoh bisa dikembangkan sebagai produk seni yang dapat dipasarkan, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara. Begitu juga dengan ornamen-ornamen khas ogoh-ogoh, yang bisa menjadi produk kerajinan dengan nilai ekonomi tinggi,” ujar Bro Oka yang juga berlatar belakang akademisi dan dosen.
Dengan demikian, perda ini tidak hanya bertujuan untuk melestarikan tradisi, tetapi juga mendorong pemanfaatan ogoh-ogoh dalam sektor ekonomi kreatif. Pemerintah Kota Denpasar berharap agar masyarakat tidak hanya melihat perda ini sebagai pembatasan, tetapi sebagai peluang untuk melestarikan budaya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
“Kita perlu memahami bahwa ogoh-ogoh bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga aset budaya yang memiliki potensi besar dalam pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali,” kata politisi PSI asal Denpasar Selatan itu.
Dengan diterapkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Ogoh-Ogoh diharapkan agar nilai budaya dalam parade ogoh-ogoh tetap terjaga, konflik dapat diminimalisir, serta peluang ekonomi kreatif dari ogoh-ogoh dapat dimaksimalkan demi kesejahteraan masyarakat Denpasar. (wid)