GARAPAN drama tari “Sri Tanjung-The Scent or Innocence” yang diangkat dari karya sastra ditulis pada abad ke-17 di Banyuwangi, Jawa Timur, ketika daerah itu merupakan bagian dari kerajaan Blambangan yang bernaung di bawah kekuasaan raja di Bali.

Alunan musik kolaborasi gamelan tradisional Bali dengan musik modern mengiringi gerak tari di atas panggung yang mampu menarik perhatian penonton yang sempat dipentaskan Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan sejumlah kota besar dalam lawatan ke Jerman.

Khsusus untuk lawatan di Jerman tahun 2000, Kadek Suardana menggarap Macbeth yang dikolaborasi dengan Tari Balet. Sungguh pementasan yang menakjubkan penggabungan tari dan musik tradisional Bali.

Proses garapan seni kontemporer yang melibatkan 30 seniman andal yang tergabung dalam Yayasan Arti Denpasar membutuhkan waktu cukup lama mulai dari mengadakan penelitian interpretasi naratif dan penulisan skrip serta penggarapan komposisi musik dan tembang.

Hasilnya garapan drama tari kombinasi padu-padan yang harmonis itu mampu menjembatani masa lalu dengan masa sekarang dengan didukung dekorasi menggunakan tata lampu berteknologi canggih sehingga pementasan sangat bermutu.

Itulah salah satu garapan tari kontemporer (modern), namun tetap terbingkai dalam nuansa ritual, karena penggarapannya tetap berangkat dari akar tradisi dan kekentalan seni budaya Bali yang diwarisi secara turun temurun hingga sekarang.

Sosok I Kadek Suardana (57), koreografer yang sukses dalam menciptakan garapan seni kontemporer itu telah pergi untuk selama-lamanya akibat menderita penyakit kanker pankreas.

Suami dari almarhum Mari Nabeshima asal Jepang itu menghembuskan nafas terakhir dalam menjalani perawatan intensif di rumah sakit Guangzhou, China Selasa malam (8/10), tutur Gede Aryantha Soetama, teman dekat almarhum dalam mengelola Yayasan Arti Denpasar.

Almarhum semasa hidupnya mendirikan dan mengelola Yayasan Arti, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pengembangan dan kelestarian seni budaya Bali dengan melakukan modifikasi terhadap kesenian-kesenian langka yang hampir punah.

Ayah dari dua putra-putri yang dikarunia seorang cucu dari salah seorang putranya yang telah membentuk rumah tangga itu adalah penata musik dan penulis dramatari yang sukses memimpim tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara.

Jenazah almarhum kini masih dalam proses pengurusan dokumen-dokumen karena menyangkut pengiriman jenazah antarnegara, tutur Ketut Budiana, kakak almarhum. Kadek Suardana berobat ke China untuk kelima kalinya itu hanya didampingi seorang dari keluarga besar almarhum istrinya Mari Nabeshima asal Jepang.

“Jadi temannya itulah yang mengurus semua dokumen untuk pemulangan jenazah ke Indonesia, yang katanya cukup lancar bekat bantuan Kedutaan Besar Indonesia di China,” tutur Ketut Budiana yang juga pernah mengantar almarhum berobat ke negeri Tirai Bambu.

Tentang proses ritual pengabenan terhadap jenazah I Kadek Suardana, baru akan dibicarakan setelah jenazah tiba melalui Bandara Ngurah Rai, Senin dinihari, 14 Oktober 2013.

Tidak Terdeteksi Gede Aryantha Sutama menjelaskan, penyakit yang diderita Kadek Suardana lama tidak terdeteksi, meskipun sudah menjalani pemeriksaan di sejumlah rumah sakit di Bali, Jakarta, Singapura dan Malaysia.

Kondisi tubuhnya yang semakin kurus akibat makanan yang dikunyahnya kembali dimuntahkan. Atas inisiatif keluarga besarnya di Jepang Kadek Suardana diajak berobat ke China.

Kondisi kesehatannya sempat membaik dan kembali lagi ke Bali, namun beberapa bulan kembali penyakitnya kumat, sehingga mencapai lima kali pernah dirawat di China hingga menghembuskan nafas terakhir.

Almarhum semasa hidupnya bersama I Dewa Gede Palguna, Aryantha Soetama dan Ulf Gadd mendirikan Yayasan Arti. Lewat yayasan itu menggelar berbagai kegiatan seni tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Kegiatan itu antara lain Festival Seni Perdamaian (2002), Festival Umbul-Umbul (2004) dan bersama puluhan seniman andal menggarap karya seni kontemporer dan sukses mengatakan lawasan ke mancanegara termasuk Jepang dan China.

Karya seni yang monumental antara lain adalah Gambuh Macbeth (1998), Ritus Legong (2002), Tajen I (2002), Tajen II (2006) dan Sri Tanjung The Seent of Innocence (2009).

Semua karya seni tersebut dilandasi oleh pengembangan nilai-nilai tradisi dalam kesenian Bali yang dikolaborasikan dengan unsur modern.

Almarhum semasa hidupnya memberikan inspirasi kepada Pemerintah Kota Denpasar untuk menjadikan ibukota Provinsi Bali itu sebagai sebagai kota berwawasan budaya, dengan menekankan berbagai aktivitas seni dan budaya.

Pemkot Denpsar atas inspirasi itu setiap akhir pekan di lapangan Puputan Badung, jantung kota Denpasar menggelar aktivitas seni budaya yang diisi secara bergiliran oleh seluruh jenjang sekolah.

Selain itu juga menggelar Festival Denpasar sebagai penyempurnaan acara melepas matahari dan menyambut tahun baru setiap peralihan tahun.

Dialog estetik Kadek Suardana yang beristrikan warga negara Jepang Mari Nabeshima yang telah meninggal dunia dua tahun silam itu menjadikan garapan seni, baik tabuh maupun tari berkolaborasi dengan seni budaya asing, khususnya Jepang.

Kemajuan teknologi dan media komunikasi yang sangat pesat belakangan ini mempersempit jarak geografi dan budaya penghuni jagat raya, sehingga fenomena multi kulturalisme yang tak terelakan mengiringi munculnya kontak-kontak budaya dan dialog estetik yang lebih serasi seperti yang sering dilakukan Kadek Suardana semasa hidupnya melibatkan seninam barat dan timur.

Bahkan Kolaborasi seni kini menjadi model kreativitas seni yang banyak digalang antarseniman mancanegara, sekaligus merupakan kerja sama antarseniman lokal, regional, nasional maupun internasional.

Pluralitas seni budaya Indonesia, khususnya Bali sangat memungkinkan untuk dijadikan kolaborasi, mengingat seni budaya Bali kaya dengan “pakem-pakem” (gerak) kesenian.

Seni pertunjukan campuran di Bali sudah lazim dilakukan seperti dalam pagelaran “Prembon”, salah satu kesenian tradisional Bali yang berangkat dari konsep kolaborasi.

“Prembon” mengakomodasikan keahlian dari berbagai jenis kesenian tradisional di Pulau Dewata. Fleksibilitas konsep itu justru menyelamatkan dan memperkokoh keberadaan suatu bentuk kesenian sehingga mampu menjadi wadah kreativitas seniman Bali.

Dramatari calonarang, teater ritual magis misalnya sangat kental dengan elemen-elemen seni pertunjukan gambuh, arja, legong, barong, topeng yang hingga kini dilakoni seniman dari berbagai latar belakang keterampilan seni pentas.

Orang Bali tidak begitu fanatik dan senimannyapun dikenal luwes, tanggap dan memiliki kepekaan estetik. “Lokal genius” seniman sudah terbukti dalam sejarah proses kristalisasi kehadiran beragam ekspresi estetik di Pulau Seribu Pura, terbukti kesenian Bali banyak mendapat perhatian bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

Kadek Suardana semasa hidupnya dalam memimpin sebuah LSM yang peduli terhadap pengembangan dan kelestarian seni budaya Bali pernah mengungkapkan bangsa-bangsa dari berbagai negara di belahan dunia yang bertemu di Bali sebagai wisatawan memberikan pengaruh besar terhadap lahirnya bentuk-bentuk kesenian baru di Pulau Dewata.

Bentuk-bentuk kesenian Bali yang lahir dari pengaruh budaya asing itu, apakah meningkatkan mutu atau mengurungi mutu kesenian Bali itu sangat tergantung dari penilaian masyarakat yang menikmatinya.

Walaupun ada masyarakat atau pihak luar yang mengatakan pengaruh budaya asing akan menurunkan mutu atau melunturkan kesenian Bali itu perlu penelitian dan pengkajian lebih lanjut.

Yang jelas budaya asing cukup besar pengaruhnya terhadap pengembangan kesenian Bali, baik kesenian yang khusus ditampilkan untuk kepentingan sektor pariwisata maupun untuk penguatan kesenian Bali itu sendiri.

Pengaruh yang lebih dikenal dengan kolaborasi itu antara tampak jelas pada kesenian sendratari Bali Agung yang ditampilkan pada pementasan rutin di Bali Safari and Marine Park (BSMP) Kabupaten Gianyar.

Puluhan seniman andal yang didukung ratusan seniman tabuh dan tari mampu menyuguhkan sebuah garapan sendratari yang dipadukan dengan puluhan ekor gajah, aneka jenis burung dan jenis satwa lainnya yang menjadi koleksi kebun bintang tersebut.

Demikian pula garapan drama tari oleh Yayasan Arti Denpasar dengan judul “Sri Tanjung – The Scent or Innocence” sukses dipentaskan lintas negara mampu memancarkan ekspresi artistik bernuansa kontemporer yang menyatu secara estetis.

Sebuah karya alternatif yang merevitalisasi kesenian tradisi yang mudah diapresiasikan masyarakat luas.

Bali sebagai daerah tujuan wisata, pengaruh orang asing terhadap pengembangan kesenian sangat kental dan hal itu tidak perlu dikhawatirkan, karena pengembangan seni dan budaya tetap terbingkai dalam seni tradisi yang diwarisi masyarakat secara turun temurun. * Sutika/Antara