Foto: Anggota DPD RI Perwakilan Bali, Gede Ngurah Ambara Putra S.H., berfoto bersama usai berdiskusi di Wiswa Sabha Denpasar, Jum’at 9 Agustus 2024.

Denpasar (Metrobali.com)-

Dalam reses terbarunya, Gede Ngurah Ambara Putra S.H., seorang anggota DPD RI Perwakilan Bali, merasakan denyut keresahan masyarakat Bali yang semakin skeptis terhadap penanganan kasus narkoba di pulau ini. Di tengah kebisingan Denpasar, ketika angin membawa aroma dupa dari pura-pura yang damai, Ambara mendengar dengan seksama suara-suara yang mengungkapkan ketakutan, kekecewaan, dan harapan yang nyaris pupus.

Reses ini bukanlah sekadar rutinitas tahunan. Ini adalah panggilan bagi Ambara untuk mendengarkan dengan hati terbuka. Dari diskusi yang berlangsung di Wiswa Sabha, Denpasar, muncul berbagai persoalan yang menghantui masyarakat. Mulai dari kesiapan Bali menghadapi Pilkada Serentak 2024 hingga keresahan mendalam terhadap melonjaknya kasus narkotika yang merusak sendi-sendi kehidupan.

“Seluruh aspirasi yang didapat akan ditampung dan menjadi bahan kajian pembahasan penting Komite 1 DPD RI,” kata Ngurah Ambara saat berdiskusi dengan PJ Gubernur Bali yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Kesra I Dewa Gede Mahendra Putra, Kepala Dinas Kominfo Gede Pramana dan Kepala Badan Kesbangpol AA Ngurah Wiryanata di Wiswa Sabha Denpasar, Jum’at 9 Agustus 2024.

Satu hal yang mencuat adalah betapa narkoba telah menjadi hantu yang menghantui setiap sudut Bali. Tak hanya menjadi transit, Bali kini menjadi tujuan utama peredaran narkoba dari para bandar narkoba. Kondisi ini tidak hanya membuat penjara-penjara di Bali penuh sesak hingga napas para tahanan beradu di ruang-ruang pengap, tetapi juga menciptakan tekanan luar biasa pada sistem pemasyarakatan. Penjara yang penuh sesak membuat napi harus bergantian tidur, berdesakan dalam ruang yang seharusnya memberikan rasa aman dan rehabilitasi.

Ambara, dengan nada suara yang serius, mengakui betapa peliknya permasalahan ini. “Masyarakat semakin apatis. Mereka kehilangan kepercayaan. Anggaran yang terus menurun untuk penanganan narkoba, padahal kasusnya terus meningkat, adalah sebuah ironi yang mencabik-cabik rasa keadilan,” katanya.

Ambara menyayangkan ironi yang  terjadi anggaran penanganan pencegahan narkoba untuk BNNP Bali justru turun drastis hampir sekitar 50 persen. “Kasus narkoba meningkat tapi anggaran malah menurun, seharusnya sebaliknya, sebaiknya di BNN ada beberapa lembaga/instansi, seperti pemerintah daerah yang berhubungan langsung dengan gubernur, bupati, walikota dan desa, begitu juga ada unsur TNI karena mereka mempunyai tugas intelijen,” katanya lantas mendorong Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa untuk memberikan atensi dalam permasalahan ini.

Dalam berbagai pertemuan reses, Ambara mengusulkan agar pendekatan terhadap pelaku narkoba tidak melulu menggunakan hukuman penjara. “Kita harus memikirkan alternatif. Rehabilitasi, keadilan restoratif, kerja sosial—semua ini harus menjadi opsi yang serius dipertimbangkan. Karena, bila kita hanya mengandalkan penjara, masalah ini tidak akan pernah selesai. Kita hanya menambah sesaknya ruang tahanan tanpa memberikan solusi nyata,” tegasnya.

Ambara juga menyoroti betapa pentingnya sinergi antara Badan Narkotika Nasional (BNN), pemerintah daerah, dan TNI dalam memberantas narkotika. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—koordinasi yang kurang optimal membuat penanganan kasus narkoba seringkali terlambat, memberikan waktu bagi para bandar untuk melarikan diri dan melanjutkan bisnis terkutuk mereka.

Yang lebih memilukan, hanya sedikit desa di Bali yang memiliki aturan adat atau pararem anti narkoba. Dari 1500 desa adat, baru 139 yang memiliki pararem ini. Ini adalah langkah kecil yang seharusnya bisa diperluas ke seluruh desa, namun minimnya dukungan anggaran membuat upaya ini terseok-seok. Begitu juga dengan program Desa Bersinar (Bersih Narkoba), yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pencegahan narkoba di tingkat desa. Dari 750 desa, hanya 30 yang terlibat. Sebuah angka yang begitu kecil di tengah ancaman besar yang dihadapi.

“Masyarakat kita membutuhkan perlindungan, mereka butuh tindakan nyata. Bali tidak boleh dibiarkan menjadi surga bagi peredaran narkoba. Desa-desa kita harus dilindungi, anggaran harus dialokasikan dengan tepat, dan setiap elemen masyarakat harus terlibat dalam upaya ini,” tegas Ambara dengan nada penuh harapan.

 

Keresahan ini mendorong Ambara dan rekan-rekannya di DPD RI untuk mendorong revisi Undang-Undang Narkotika. Mereka ingin memastikan bahwa koordinasi antar instansi berjalan lebih baik, anggaran desa diarahkan untuk mendukung program Desa Bersinar, dan korban narkoba mendapat kesempatan untuk direhabilitasi, bukan dipenjara tanpa solusi.

Di akhir perjalanannya, Ambara tak hanya membawa pulang sekadar catatan dan usulan. Ia membawa suara rakyat Bali, yang berharap agar masalah narkoba tidak hanya menjadi pembicaraan di ruang-ruang sidang, tetapi menjadi gerakan nyata yang menyentuh setiap lapisan masyarakat, dari kota hingga desa-desa terpencil. Sebuah harapan, bahwa Bali yang kita cintai, akan kembali bersinar tanpa bayang-bayang gelap narkoba. (dan)