IB Rai Dharmawijaya Mantra saat podcast di Metro Bali

Denpasar, (Metrobali.com)-

Penyebutan Lembaga Pekreditan Desa (LPD) dengan micro finance, lembaga keuangan mikro tidak pas. Karena micro finance dari sisi semantik kata, memberikan penggambaran dari sistem kapitalisme yang motif utamanya mencari laba.

Hal itu dikatakan ekonom Jro Gde Sudibya Minggu 23 Juli 2023 mengevaluasi jalannya LPD di masa kepemimpinan Wayan Koster (WK).

Dikatakan, WK ngomong Bali Kertih, kesejahteraan untuk Bali, tetapi agaknya tidak peduli dengan masa depan LPD. Berbeda halnya dengan proyek besar, WK sangat peduli. Padahal kita mengetahui dari gerak langkah LPD, Koperasi, UMKM, mayoritas masyarakat Bali dihidupi, ditentukan tingkat kesejahteraannya. Bukan dari proyek besar, yang kurang transparan dan dilakukan melalui penunjukan dan kurang memperhatikan partisipasi pengusaha lokal.

Menurut pengamat kebijakan publik ini, sangat berbeda dengan LPD, visi Pak Mantra tentang pendirian LPD yang dijabarkan secara operasional oleh Dewa Gede Wedagama, ketua Bappeda di era ini, adalah pemberdayaan ekonomi krama melalui lembaga simpan pinjam antar krama yang berbasis: adat, budaya dan agama.

Prinsip awalnya, apabila LPD nantinya dapat keuntungan, keuntungan bukan motif utamanya tetapi akan dikembalikan lagi ke krama untuk pemberdayaan sosial ekonomi krama, manut perarem.

Konon, Dewa Gede Wedagama alumni FE UGM, seangkatan dengan Prof.Mubyarto ekonom pemikir ekonomi kerakyatan, dan penggagas sistem ekonomi Pancasila. Pak Wedagama veteran pejuang kemerdekaan, agaknya idealisme perjuagannya dituangkan dalam kebijakan pendirian dan pengembangan LPD.

Dikatakan, visi dan kebijakan ini tergolong berhasil, per Desember 2022 aset lebih dari 1.000 LPD sekitar Rp.25 T, dengan jumlah karyawan hampir 1.000 orang. Akibat pandemi, ada sejumlah LPD mengalami masalah keuangan, tampaknya Pemda Bali tidak turun tangan dalam mencarikan penyelesaian.

Menurutnya, Bank BPD Bali yang merupakan milik masyarakat Bali, yang diwakili pemilikan sahamnya diwakili oleh Gubernur, Bupati dan Wali Kota, yang semestinya menjadi penyelamat LPD sebagai the lender of the last resort, tidak berbuat apa-apa , sebagai akibat Gubernur tidak memberikan arahan penyelamatan bagi LPD.

Bicara Ekonomi dan Budaya Bali

Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra @rai_mantra mengukuhkan dirinya bukan hanya sebagai anak biologis Prof Dr Ida Bagus Mantra, tetapi telah menjadi anak akademis, pewaris ideologis, penerus gagasan besar Prof Mantra.

Ini ditunjukkan Gus Rai saat mempertahankan disertasinya yg berjudul ” Peranan Modal Budaya Dalam Meningkatkan Kinerja Keuangan LPD di Bali saat Covid-19″ dihadapi Tim Penguji di Program Studi Doktor Ilmu Manajemen, FEB UNUD.

Berbicara di Metrobali Podcast Jumat 21 Juli 2023, menyebut bahwa keberadaan LPD (Lembaga Perkreditan Desa) identik dengan gagasan Prof Mantra saat beliau menjadi Gubernur Bali.

Pada tahun 1984, Pak Mantra menginisiasi pembentukan satu LPD di masing-masing Kabupaten di Bali. Lembaga Perkreditan Desa bukan semata-mata lembaga keuangan milik desa adat yang berorientasi profit, tetapi juga menjadi lembaga sosial yang menjalankan fungsi-fungsi sosial-budaya yang diemban desa adat. Gus Rai menyebutkan LPD sebagai lembaga hybrid.

Ketika diminta untuk memberikan pertanyaan dan tanggapan, saya mengatakan bahwa pendirian LPD adalah bagian dari strategi kebudayaan yg dipikirkan Prof Mantra. Dalam bukunya yang berjudul: Landasan Kebudayaan Bali, Prof IB Mantra menyebutkan bahwa kemajuan-kemajuan atau modernisasi memerlukan landasan budaya yang kuat, kreatif dan berakar pada kepribadian.

Ini sebuah kritik atas pendekatan modernisme dan juga pandangan kaum positivitik-neo klasik yang menyatakan adopsi terhadap sistem kapitalistik akan mengantarkan pada kemajuan yang sama.

Pandangan ini mengabaikan adanya formasi sosial, kelembagaan sosio-ekonomi yang berbeda yang menghasilkan hasil yang berbeda. Studi Clifford Geertz yang membandingkan Tabanan dengan Pare menunjukan pentingnya melihat konfigurasi sosial dalam masyarakat dalam menjelaskan perubahan sosial-ekonomi.

Sistem kapitalisme juga memunculkan respon berupa kelembagaan baru yang tidak sepenuhnya adopsi kapitalistik global tapi mengakomodasi tradisi & kepentingan lokal. Sehingga muncul lembaga “in between”, yang bekerja dengan cara berbeda. Prof Mantra menyebut LPD sebagai perkawinan tradisi dan manajemen modern. (Adi Putra)