nelayan

Jakarta (Metrobali.com)-

“Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada hujan tiada badai kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu.” Kutipan lagu dari Koes Plus itu menceritakan betapa melimpahnya hasil bumi dan lautan Indonesia. Koes Plus menceritakan nelayan tak perlu kesulitan melaut karena ikan dan udang bagaikan menghampiri mereka.

Saat ini, ikan dan udang mungkin masih menghampiri mereka di laut. Namun, solar sebagai bahan bakar perahu mereka untuk melaut, seolah mulai menjauh. Subsidi dikurangi, harga solar melambung. Kuota solar bersubsidi dikurangi, kelangkaan pun terjadi.

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dikarenakan persediaan yang ada sangat terbatas.

Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 937/07/Ka.BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 perihal Pengendalian Konsumsi BBM Tertentu Tahun 2014. Menurut surat edaran itu, BBM jenis minyak solar (Gas Oil) dikurangi 20% di lembaga penyaluran nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS).

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati mengatakan, kebijakan pembatasan solar bersubsidi sebaiknya tidak merugikan nelayan sehingga mereka tetap bisa melaut.

“Solar atau substitusinya harus tetap tersedia pasokannya bagi nelayan agar tetap bisa melaut walaupun harganya lebih mahal dari harga solar bersubsidi,” katanya.

Bila nelayan merasa keberatan dengan harga solar nonsubsidi, maka pemerintah seharusnya memberikan bantuan kepada mereka supaya tetap bisa membeli BBM.

Menurut Nina, orang miskin, nelayan, petani dan pengusaha mikro dan kecil harus mendapat bantuan modal maupun subsidi. Seharusnya, subsidi diberikan pada orang bukan barang seperti solar.

“Kalau yang disubsidi solar justru akan menguntungkan orang lain. Sebagian besar subsidi justru dinikmati orang kaya. Belum lagi solar bersubsidi untuk nelayan yang ternyata diselundupkan malah untuk industri,” tuturnya.

Karena itu, daripada solar bersubsidi yang seharusnya untuk nelayan diselewengkan, lebih baik subsidi dihilangkan dan harga dinaikkan.

“Walau harga naik, kalau nelayan diberi kompensasi dalam bentuk permodalan tentu tetap akan meringankan mereka. Nelayan kecil bisa dikategorikan pengusaha mikro sehingga mungkin bisa diberi bantuan modal melalui kredit usaha rakyat (KUR) atau lainnya,” katanya.

Menurut Nina, sejauh ini dia belum tahu adanya bantuan kredit usaha untuk modal bagi nelayan. Padahal, sebagai kelompok yang mengusahakan sendiri pencarian ikan, mereka bisa masuk kategori pengusaha.

“Program bantuan usaha yang ada saat ini bisa dikombinasikan. Kebijakan permodalan untuk pengusaha mikro dan kecil juga harus terpadu,” ujarnya.

Permintaan KKP Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo meminta BPH Migas konsisten terhadap pengurangan BBM subsidi untuk nelayan sebesar 4,17 persen, proporsional dengan penurunan nasional.

“Penetapan penurunan kuota secara nasional dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL atau sebesar 4,17 persen, sedangkan alokasi kuota untuk nelayan turun sebesar 20 persen. Jika pengurangan 20 persen diterapkan akan menimbulkan keresahan, karena tidak ada kejelasan berapa batasan alokasi per kapal,” kata Sharif C Sutardjo.

Sharif mengatakan solar merupakan input produksi yang mempunyai peranan sangat penting bagi kelangsungan usaha penangkapan ikan. Hal ini karena berdasarkan hasil identifikasi dan supervisi di beberapa pusat kegiatan nelayan, ternyata komponen biaya BBM berkisar antara 60 – 70 persen dari seluruh biaya operasi penangkapan ikan per tripnya.

Sementara dari sisi pasar, harga jual ikan hasil tangkapan yang diorientasikan untuk pangsa pasar dalam negeri relatif tidak mengalami kenaikan.

“Dampak kenaikan BBM yang relatif cukup tinggi dirasakan sangat memberatkan nelayan. Apalagi kondisi atau musim penangkapan ikan yang masih sulit diprediksi mengakibatkan ketidakberdayaan nelayan untuk melaut,” tuturnya.

Keluhan Nelayan Pembatasan solar bersubsidi, bahkan wacana pengurangan subsidi sehingga harga akan naik, tentu saja menjadi keluhan bagi nelayan terutama nelayan kecil.

Nelayan di Cilincing, Jakarta Utara berharap subsidi solar untuk mereka tidak dikurangi karena bisa mengakibatkan mereka tidak bisa melaut dan gulung tikar.

“Kalau harga solar untuk nelayan naik, kami pasti menjerit. Biaya untuk melaut tidak sebanding dengan hasil yang kami peroleh,” kata Sukarya, salah satu nelayan Cilincing.

Sukarya mengatakan dia biasanya melaut selama sehari dengan biaya Rp400 ribu hingga Rp500 ribu untuk membeli solar, es dan logistik. Sementara itu, hasil dari melaut seringkali tidak bisa dipastikan.

Padahal, keperluan untuk melaut berutang dari warung-warung yang ada di Kampung Nelayan Cilincing.

“Solar beli di warung Rp6.300 per liter. Untuk melaut sehari saya perlu 50 liter sampai 60 liter. Solar sangat penting bagi nelayan. Kalau beras hanya perlu satu liter per hari, solar bisa puluhan liter,” tuturnya.

Padahal, harga ikan tangkapan nelayan relatif tetap. Di saat harga ayam dan daging naik menjelang Idul Fitri, harga jual ikan nelayan di pasaran tidak mengalami kenaikan.

Kepala Kelompok Nelayan Jaring Rampus Baru Laksana Cupatam mengatakan nelayan membeli solar di pengecer karena bisa berutang terlebih dahulu.

“Kalau membeli di pom bensin harus membayar tunai. Nelayan tidak punya modal,” ujarnya.

Cupatam mengatakan, dia biasanya sekali melaut memerlukan waktu empat hari hingga lima hari sehingga memerlukan solar 150 liter hingga 160 liter. Karena itu, dia memerlukan modal sedikitnya Rp1,5 juta sekali melaut untuk solar, es dan logistik.

“Kalau sedang hasilnya banyak, hasil melaut bisa terjual sampai Rp4 juta. Tapi tidak jarang hanya mendapat Rp750 ribu. Kalau seperti itu kan kami merugi,” katanya.

Karena itu, Cupatam berharap pemerintah melindungi nelayan yang masih memerlukan subsidi solar. Bila memang subsidi dikurangi dan harga solar naik, Cupatam berharap Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta bisa memberikan solusi.

Tak Melaut Kelangkaan solar bersubsidi akibat adanya pembatasan sudah mulai dirasakan nelayan sehingga mereka tak lagi melaut.

Sekitar 500 kapal nelayan Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, beberapa hari ini tidak kelihatan menangkap ikan di laut akibat krisis bahan bakar solar yang terjadi di daerah tersebut.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Batubara Edy Alwi mengatakan jika solar masih langka dikhawatirkan seluruh nelayan di daerah itu akan berhenti melaut. Akibatnya, nelayan akan menganggur karena tidak memiliki pekerjaan lain dan hanya berdiam diri di rumah.

“Hal itu diharapkan jangan sampai terjadi karena jelas berdampak kurang baik terhadap perekonomian nelayan di wilayah Pantai Timur Sumatera,” ujarnya.

Nelayan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah juga mulai mengeluhkan kesulitan memperoleh pasokan solar setelah ada pembatasan.

Narto, salah satu nelayan di Batang, mengatakan sudah hampir sepekan ini pasokan solar mulai langka sehingga para nelayan mulai terpaksa menunda keberangkatan melaut.

“Kami masih menunggu kiriman solar yang dipasok di stasiun pengisian bahan bakar nelayan. Akan tetapi pasokan solar tidak mencukupi syarat berlayar,” katanya.

Menurut dia, sebelum ada pemberlakuan pengurangan pasokan solar, para nelayan mendapatkan jatah 6.000 liter tetapi sekarang hanya 2.000 liter sehingga hal itu tidak memungkinkan untuk berangkat mencari ikan.

“Saat ini, kapal nelayan harus rela antre menunggu cukup lama mendapatkan pasokan solar dari SPBBN dan mereka terpaksa harus menunda keberangkatan melaut,” katanya.

Hal serupa juga dialami nelayan di Kabupaten Tangerang, Banten. Sejak akhir Juli, mereka mengalami kelangkaan pasokan solar.

Pembina Nelayan Kronjo Sumiyadi mengatakan dari 300 nelayan yang ada, hanya 20 nelayan yang dapat melaut dan itu pun menggunakan perahu kecil. Sebab, solar di SPDN Kronjo tidak tersedia.

“Aktifitas nelayan berhenti karena pasokan solar di SPDN tidak ada. Hanya beberapa saja yang dapat melaut,” katanya.

Semestinya, lanjut Sumiyadi, pascalebaran seluruh nelayan sudah bisa melaut. Tetapi, hal itu terkendala pasokan solar.

“Perahu kecil yang melaut, harus membeli solar menggunakan derigen ke tempat yang jauh,” ujarnya.

Betapa pentingnya solar bagi nelayan. Bila pasokan berkurang, atau bahkan harga naik tanpa ada kompensasi bagi mereka, maka nelayan terancam tidak melaut dan masuk dalam kelompok rumah tangga miskin.  AN-MB