Oleh: Ngurah Karyadi

Jokowi selaku Presiden harus belajar dari Parikesit. Raja belia Kerajaan Astina selepas perang Bharatayudha, yang mati karena gigitan  Naga Taksaka. Terlebih semboyan Jokowi, “Nawacita” kini seakan berhada-hadapan dengan “Nawa-naga” (sembilan naga, sebutan untuk para mafia negeri), seperti dalam kasus reklamasi Benoa, Jakarta dan sejenisnya ataupun mafia Sembako. Sehinga Nawacita terbelit sembilan naga, sehingga hanya duka-cita, dan rakyat cuma bisa “gigit jari”.

Sekilas kisah
Dikisahkan, dalam cerita Adiparwa, dimana Dewi Kadru yang tidak memiliki anak meminta Resi Kasyapa agar menganugerahinya dengan seribu orang anak. Lalu Bagawan Kasyapa memberikan seribu butir telur agar dirawat Dewi Kadru. Kelak dari telur-telur tersebut lahirlah putera-putera Dewi Kadru. Setelah lima ratus tahun berlalu, telur-telur tersebut menetas. Dari dalamnya keluarlah para naga. Naga yang terkenal adalah Basuki, Anantaboga, dan Taksaka.

Dalam Mahabharata, diceritakan bahwa saat Maharaja Parikesit dari Hastinapura pergi berburu, ia kehilangan jejak buruannya dan masuk ke sebuah kediaman brahmana/pertapaan. Ia bertanya kepada seorang pertapa bernama Samiti yang sedang duduk bermeditasi karena hanya pertapa tersebut yang ia temui. Pertapa tersebut diam membisu saat Parikesit bertanya. Karena marah, sang raja mengambil bangkai ular dengan panahnya dan mengalungkannya di leher Samiti.

Putra Samiti, yaitu Kalla Srenggi, merasa marah atas perbuatan tersebut. Atas penjelasan Sang Kresa yang mengetahui kejadian tesebut, Kalla Srenggi mengutuk Raja Parikesit agar beliau mati digigit ular tujuh hari setelah kutukan diucapkan.

Samiti kecewa pada anaknya yang telah mengutuk Raja Parikesit. Akhirnya ia pergi menemui raja tentang perihal kutukan tersebut, namun Raja Parikesit malu, dan lebih memilih melindungi diri dari kutukan. Kemudian Kalla Srenggi mengutus Naga Taksaka untuk membunuh Sang Raja.

Pada hari yang ketujuh, naga Taksaka pergi ke Hastinapura. Di sana Sang Raja dilindungi dan dijaga oleh para brahmana, prajurit, dan ahli mengobati bisa. Agar mampu menjangkau Sang Raja, Naga Taksaka mengubah wujudnya menjadi ulat dan masuk dalam buah jambu. Lalu ia menyuruh naga yang lain untuk menyamar menjadi brahmana dan menghaturkan jambu tersebut. Pada saat Sang Raja menerima buah jambu dari brahmana yang menyamar tersebut, Naga Taksaka kembali ke wujud semula dan mengigit Raja Parikesit. Karena gigitan Sang Naga yang sakti, Raja Parikesit terbakar sampai menjadi abu.

Putera Raja Parikesit adalah Raja Janamejaya. Ia diangkat menjadi raja pada usia muda. Saat Sang Utangka datang menghadap Sang Raja, ia menjelaskan penyebab kematian ayah Sang Raja, yaitu digigit Naga Taksaka. Untuk balas dendam, Sang Raja mengadakan “Sarpahoma”, atau upacara pengorbanan ular. Ia mengundang para brahmana untuk mendukung upacara tersebut. Namun firasat para brahmana mengatakan bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana.

Saat upacara berlangsung, api dinyalakan. Beberapa saat kemudian, ribuan ular dengan berbagai bentuk melayang, seolah-olah ditarik menuju lokasi upacara dan sampai di sana mereka ditelan api upacara yang berkobar. Banyak ular yang masuk ke dalam api membuat api semakin berkobar disebabkan oleh lemak ular-ular tersebut.

Taksaka yang berada di Nagaloka merasa cemas lalu mengutus Sang Astika untuk memohon agar Raja Janamejaya membatalkan upacaranya. Sang Astika bersedia melakukannya lalu turun ke bumi. Naga Taksaka lalu mencari perlindungan kepada Dewa Indra. Badannya sudah ditarik oleh mantra-mantra suci agar lenyap dalam api pengorbanan, sehingga ia memegang ujung pakaian Dewa Indra erat-erat. Namun mantra diperhebat sehingga tubuh Dewa Indra bergoyang, dan ia takut jangan-jangan ikut masuk ke tungku pengorbanan. Akhirnya Dewa Indra melepaskan Naga Taksaka.

Sementara itu Sang Astika turun ke bumi dengan pakaian brahmana dan menghadap Raja Janamejaya. Sang Astika datang dengan takzim dan memuji keagungan Sang Raja. Raja Janamejaya terkesan dengan sikap Sang Astika dan menyanyakan apa yang dikehendakinya. Sang Astika lalu menjelaskan dampak buruk penyelenggaraan upacara tersebut dan memohon agar Sang Raja segera menghentikannya. Atas ketulusan Sang Astika, Sang Raja mengabulkan permohonan tersebut. Naga Taksaka hampir ditelan api pengorbanan Sang Raja, namun nyawanya tertolong berkat mantra Sang Astika. Upacara pengorbanan pun dibatalkan dan Naga Taksaka kembali ke Nagaloka.

Seakan berulang
Kisah Parikesit dalam wiracarita Mahabharata episode Adiparwa itu menjadi analogi yang tepat bagi presiden yang selama ini tengah mengimplementasikan Nawacita, dan  Revolusi Mental. Tragedi membayang, dan mungkin berulang mengingat sembilan naga, dan sang Kalla telah men-yusup-kan diri ditubuh kekuasaanya.

Mungkin berbeda dari pendahulunya, dimana presiden dan para pembantunya laksana Kerajaan Astina, yang tinggal di menara gading, dan berjarak dengan rakyatnya. Jokowi mencoba tidak demikian. Tidak membangun gedung kantor tinggi berpenjaga ketat dan sibuk menyamankan diri dengan fasilitas luks di dalam ruangannya. Namun sebaliknya, blusukan dan ditengah rakyat -meski mungkin masih dicurigai hanya untuk pencitraan.

Mudah-mudahan Jokowi bisa menjadi simbol pemimpin yang lain, dan berbeda dari sebelumnya. Tidak abai akan kondisi riil sosial masyarakatnya. Tanpa harus jumawa, dan lebih sering berada di luar istana. Tidak berlindung di menara gading yang indah, dan sekaligus mampu menjawab persoalan. Mengingat, persoalan bukan hanya untuk dianalisis, tapi juga membutuhkan solusi yang aplikatif. Dalam konteks kompleksitas permasalahan bangsa kita, presiden harus mengambil peran tersebut.

Dengan logika tersebut, kehidupan berbangsa dan bernegara semestinya dimaknai sebagai bangunan regulasi politik yang menegakkan fondasi konstitusi, hukum dan ekonomi dengan tetap memperkuat ikatan-ikatan sosial budaya antarwarga dan mengembangkan logika kreatif dalam rangka mengokohkan peradaban. Bukan sebaliknya, “pecah belah dan kuasai” (devide et impera) ala Kompeni (perushaan) di masa lalu.

Caranya adalah dengan revolusi kesadaran (mental), dengan tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril dan material.

Presiden Jokowi sepertinya bukan Parikesit. Tidak bersembunyi di menara gading menghindari kejaran naga Tatsaka. Namun sebaliknya, hadapi persoalan yang ada, meski ancaman mati, atau dilengserkan tetap ada -seperti Gus Dur. Mudah-mudahan tidak mati saat menyantap makanan, seperti kutukan “Kalla” Serenggi, yang masih banyak menyusup disekitarnya. Semoga!!!.