Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Tempo hari saya diwawancarai reporter TVRI Pusat. Saya dijadikan salah satu sumber untuk pembuatan film dukumenter tentang Nyepi. Rencananya film ini hadir dengan terjemahan bahasa Inggris. Dalam obrolan persiapan, saya sempat mengusulkan, sebaiknya film dokumenter ini diberi judul “Nyepi dan Doa dalam Tindakan”. Saya sadar, pada asfek tindakanlah kita kurang. Laku agama kita tidak membadan, kerap tindakan kita jauh dari pesan-pesan teks, sering perilaku kita mangkir dari ajaran-ajaran. Kita tidak usah membahas soal ini berpanjang lebar.

Kejadian-kejadian saat pengerupukan, atau pelanggaran-pelanggaran saat Nyepi yang tengah viral di media sosial menunjukkan betapa rentannya psikososial kita. Kejadian di Desa Sumber Klampok, Grogak misalnya; seperti menjadi tubir curam, atau bara yang suatu saat bisa meledak jadi kekerasan. Ini perlu diantisipasi dengan seksama, karena dari awal penduduk Bali tidak lagi homogen. Karena hidup di wilayah republik tidak ada wilayah yang bisa menolak pendatang, dan itu memang tidak elok dilakukan. Kita tidak boleh berpikiran sempit.

Nyepi adalah warisan paling penting dari peradaban spiritual orang Bali. Bukan karena tradisinya yang unik, bukan pula karena cara-cara orang Bali menyambut tahun barunya dengan cara “diam”. Ini adalah retrtet dari Ramya ke Sunia. Dari “sarwa tatwa” ke “sunya tatwa”. Dari ramai penuh gumuruh, menuju hening sejati. Konsep ini bukanlah konsep mengada-ada. Di balik itu ada wawasan kesemestaan, tidak hanya menyangkut bumi (bhur) ini — namun menjangkau alam bhur – bwah-swah[ alam bawah, tengah, dan atas]

Di Bali Nyepi dilakukan saat “posisi” surya atau raditya tepat berada dalam posisi “wiswayana”, saat matahari tepat berada di tengah-tengah garis khatulistiwa. Jarak lintang utara dan lintang selatan sama percis dari garis khatulistuwa. Bumi, bulan, dan matahari berada dalam titik garis lurus. Dan saat siang, matahari tepat berada di atas kepala kita. Lama siang dan malam juga sama.

Saat posisi matahari berada di titik “wiswayana” dan “perjalanan” matahari menuju lintang utara -ngutarayana — orang Bali memilih waktu ini untuk melakukan “bhumi suddha”, tawur atau caru. Satu retret menyucikan bumi kembali, dengan harapan bumi selalu bisa menyangga kehidupan kita. Tawur berarti mengembalikan atau menjadikan suci unsur-unsur yang membangun bumi. Sementara “caru” berarti membuat bumi menjadi manis kembali. Ini mungkin bisa diartikan sebagai bentuk harmoni.

Menurut para pendeta, saat bumi suddha atau tawur di mana tepat digelar saat “bajeg surya”, di samping berkaitan dengan pemuliaan bumi juga berkaitan dengan pemulian Surya sebagai Siwaraditya. Matahari sebagai sumber energi segala. Tak ada makhluk, mulai dari makhluk bersel satu sampai tarap hidup makhluk paling paripurna bernama manusia tidak bisa hidup tanpa energi matahari. Seluruh rantai makanan yang sampai ke piring kita, semua bersumber dari energi matahari. Karena itu, dalam setahun, hitungan kalendar Bali, bumi dengan segala isinya perlu “diistirahatkan”. Sebab itu bumi butuh nyepi. Kita perlu hening.

Tanpa membanggakan apa yang terwarisi dalam tradisi Bali, Nyepi adalah satu-satunya warisan dunia. Karena dunia dalam kecarut-marutannya, dalam kecamuk perang, pencemaran, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya; sejatinya dunia butuh Nyepi. Karenanya, tradisi Nyepi perlu mendapat perlindungan dunia. Dan republik ini, negara ini perlu melindunginya dengan undang-undang – supaya dalam setiap rangkain Nyepi di Bali, para pemulia tradisi dijauhkan dari segala gangguan, baik ngangguan dari luar maupun dari dalam.

I Wayan Westa
Pakubuan Kusa Agra
22-3-2023