Agung Darmayuda

I GN Agung Darmayuda

SAAT penulis mulai menekan tombol power on pada laptop, dua jam ke depan pertandingan sepak bola partai semi final antara Indonesia melawan Malaysia akan berlangsung. Aktivitas berselancar di depan screen untuk mencari berita berkaitan dengan prediksi pertandingan tersebut. Berbagai pendapat dari para pengamat sepak bola menghiasi tampilan hasil telusuran penulis. Tidak terasa sudah hampir satu jam berlalu, penulis bergeser ke ruang keluarga merayu si bungsu agar bersedia pindah canel  ke salah satu stasiun yang menyiarkan secara langsung pertandingan ini. Diksi ‘Ganyang Malaysia’ memompa semangat rasa nasionalisme menyusul insiden bendera merah putih yang menghenyakan nalar kita atas keteledoran panitia SEA Games 2017, menelusup diantara berita dan opini yang tersaji di layar laptop.

Rupanya diksi Ganyang Malaysia membuka kembali memori yang terjadi antara saudara serumpun Indonesia Malaysia. Istilah Ganyang Malaysia adalah politik konfrontasi yang dipopulerkan oleh Presiden Soekarno ketika pada tahun 1963, Malaya yang merdeka 1957 menjadi Federasi Malaysia.

Insiden-insiden kecil hubungan saudara serumpun ini kerap terjadi mulai dari perlakuan buruk terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Beberapa tahun lalu bahkan sebagian warga Indonesia memplesetkan nama Malaysia menjadi ‘Malingsia’, merujuk tudingan bahwa Malaysia ‘mencuri’ dengan menampillkan sejumlah budaya yang diyakini sebagai budaya Indonesia, dalam iklan wisata negeri itu.

Histeria anti-Malaysia menemukan bentuknya yang lain tatkala pada 2007 muncul lagu Rasa Sayange pada sebuah iklan pariwisata Malaysia. Muncul kehebohan, menuduh Malaysia mencuri harta budaya Indonesia. Disusul kemudian pemunculan reog ponorogo, tari lilin, dan tari pendet dalam film-film iklan wisata Malaysia.

Sebelumnya muncul juga tuduhan bahwa Malaysia hendak mengklaim batik sebagai milik Malaysia, karena ada sebuah perusahaan Malaysia yang mempatenkan sebuah motif batik ciptaan mereka. Histeria lain muncul tatkala ada kalangan Mandailing Malaysia yang menyerukan agar tari Tortor khas batak diakui sebagai warisan budaya dunia. Kekecewaan terhadap Malaysia dipuncaki dengan kekalahan hukum dan politik Indonesia terkait sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Kasus ini membuat Indonesia jadi lebih sensitif setiap kali ada saling klaim wilayah. Misalnya saat ada ketegangan sekitar Blok Ambalat pada 2005 (bbc.com).

Insiden-insiden kecil hubungan saudara serumpun ini secara tidak langsung memunculkan semangat nasionalisme kita. Semangat nasionalisme yang bangkit ketika ada perlakuan negatif dari pihak luar terhadap milik kita. Nasionalisme kita mendidih ketika melihat perlakuan buruk terhadap tenaga kerja Indonesia. Sebaiknya kita sikapi dengan membekali ketrampilan yang memadai, ilmu yang cukup, sehingga memiliki posisi tawar yang baik di negeri orang. Perilaku Malaysia yang kerap mengklaim  sejumlah budaya kita membangkitkan rasa nasionalisme kita menyatakan bahwa Malaysia telah mencuri budaya Indonesia. Sebaliknya, apakah kita selama ini telah memperkenalkan lagu rasa sayange kepada anak-anak kita. Begitu pula dengan tarian Reog Ponorogo, Tari Lilin, Tari Pendet, dan Tari Tortor apakah selama ini kita telah menjaga dengan baik dengan mengembangkannya dan mengajarkan kepada anak-anak kita. Hal yang positif ketika batik sudah menjadi pakaian wajib di sekolah-sekalah dan di kantor-kantor pemerintah dan swasta pada hari-hari tertentu menjadi reaksi wujud nasionalisme kita cinta terhadap batik sebagai warisan budaya bangsa. Kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi peringatan kepada kita bahwa wilayah terluar kita yang menjadi perbatasan terhadap Negara lain perlu mendapat perhatian lebih, agar WNI yang ada disana memiliki rasa nasionalisme untuk menjaga sebaik-baiknya wilayah kita dan bangga menjadi WNI. Pembangunan wilayah perbatasan sudah mulai dilakukan secara intensif agar kehilngan Pulau Sipada dan Ligitan tidak terulang lagi.

Dua jam telah berlalu pertandingan sepak bola yang dinanti segera dimulai. Pandangan mata mulai konsentrasi pada layar televisi. Semangat tim sepak bola kita sangat membanggakan. Berberapa peluang sempat tercipta begitu pula usaha menghalau serangan lawan telah dilakukan secara maksimal. Dalam pertandingan, ada faktor keberuntungan yang belum berpihak pada tim Garuda Muda sehingga harus mengakui keunggulan tuan rumah Malaysia dengan skor tipis 1-0 atas Indonesia. Semangat Ganyang Malaysia dalam pengertian positif terus dijaga menjadi semangat Nasionalisme positif dengan membangun persepakbolaan di tanah air dengan berbenah disegala segi, baik dari pembinaan atlit sejak dini maupun upaya meningkatkan fasilitas untuk mendapatkan para garuda-garuda pembela kehormatan bangsa untuk mengibarkan Bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri orang. Akhirnya ijinkan saya memekikan pekik Merdeka dengan kelima jari menghentak simbul Pancasila dalam satu tarikan nafas: Merdekaaa….Merdekaaa….Merdekaaaa….!!!

Penulis:

I GN Agung Darmayuda, Komisioner KPU Kota Denpasar