SONY DSC

Sejak sepekan lalu Suku Anak Dalam (SAD) atau juga dikenal dengan orang rimba menjadi pemberitaan disebabkan 11 orang warganya meninggal dunia secara beruntun.

Informasi meninggalnya 11 orang rimba tersebut sampai ke telinga Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada Kamis (5/3), dan langsung bergerak cepat menurunkan tim untuk mengetahui kebenarannya.

“Saya mendengar informasi itu saat saya berada di komunitas adat terpencil di Desa Sokop Kepulauan Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Saya sudah minta Direktorat KAT Kemensos untuk turun ke sana,” kata Khofifah.

Tim yang diturunkan menemukan bahwa orang rimba tersebut meninggal saat mereka sedang melakukan tradisi “melangun” atau berpindah tempat saat ada anggota keluarga yang meninggal.

Meninggalnya orang rimba tersebut diduga karena kelaparan sebab persediaan makanan mereka habis saat melangun dan semakin rusaknya lingkungan sekitar mereka.

Ketua Dewan Pakar Komunitas Adat Terpencil (KAT) Prof Budi Santoso mengatakan, nasib masyarakat adat tersebut lebih buruk dibandingkan orang utan terutama karena lingkungan tempat tinggal mereka terancam.

“Apa yang selama ini kita khawatirkan dan yang menjadi masalah krusial yaitu kelaparan, itu yang terjadi pada orang rimba,” kata Budi Santoso.

Budi mengatakan, terkait kematian orang rimba tersebut menurut dia, mereka tidak akan keluar dari wilayah wilayahnya dan tidak akan melampaui batas jelajah mereka.

Orang rimba memiliki kebiasaan berpindah atau melangun, tapi menurut Budi saat berpindah mereka akan tahu kemana harus pergi dan dipastikan tidak jauh dari sumber makanan mereka.

“Yang terjadi adalah daerah mereka sudah terancam, karena segala kehidupan termasuk manusia memerlukan lingkungan hidup. Kalau lingkungannya rusak maka mereka juga pasti berpindah mencari yang lebih baik,” katanya.

Ancaman KAT Budi menjelaskan, secara naluri yang dibutuhkan manusia adalah rasa aman yaitu lingkungan yang aman.

Setelah itu, ada kebutuhan terhadap sumber makanan sebab rasa aman tidak cukup jika tidak ada sumber makanan.

“Yang dihadapi KAT adalah terancamnya sumber makanan mereka bisa saja karena lingkungan yang sudah rusak,” tambah dia.

Selain itu juga dibutuhkan jaminan untuk kelangsungan hidup keturunannya sehingga dipastikan mereka mencari tempat yang lebih baik.

Terkait tewasnya 11 warga Suku Anak Dalam (SAD) atau orang rimba dari kelompok Temenggung Maritua, salah satunya disebabkan kelaparan karena mereka masuk dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) dan tradisi melangun.

Warga SAD mengakui, bahwa lahan yang kini dikuasai PT Wana Printis yang saat ini menjadi HTI tersebut milik nenek moyang mereka.

Pemerintah Provinsi Jambi mencatat, ada tujuh perusahaan memiliki HTI, yaitu PT Wana Printis, Agro Nusa Alam Sejahterta, Jebus Maju, Tebo Multi Agro, Lestari Asri Jaya, Malaka Agro Perkara dan Alam Lestari Makmur.

Orang rimba yang sejatinya hidup di hutan semakin terusik dengan kondisi lingkungan mereka yang rusak dan banyak yang beralih menjadi perkebunan.

Mereka yang terbiasa memanfaatkan hasil hutan dan hidup dari sumber daya yang ada di hutan akan terancam kehidupannya ketika hutan tempat tinggal mereka rusak.

Hutan yang rusak akan menghilangkan sumber makanan mereka sehingga orang rimba sulit bertahan dengan kondisi alam yang tidak “ramah” lagi.

Upaya Pemberdayaan Menteri Sosial Khofifah meminta ada program pendampingan dan pendekatan kepada orang rimba di Jambi.

“Karena mereka adalah peladang berpindah dan tidak semua siap untuk ditempatkan di hunian tetap,” kata Khofifah.

Menurut dia, harus ada pendekatan dan pendampingan sampai mereka siap untuk ditempatkan di hunian tetap dalam hal ini KAT.

Dia menjelaskan, pada 20 Desember 2014 sebetulnya sudah bertemu dengan perwakilan suku anak dalam di Jambi dan saat ini sudah dikomunikasikan kembali.

Tim Kemensos dikoordinasikan langsung agar kemungkinan bisa memberikan pendampingan ke mereka supaya bisa disiapkan hunian tetap dalam bentuk KAT, katanya.

“Dari pengalaman saya di Pulau Meranti saat sedang meresmikan KAT, dalam dialog dengan perwakilan suku dari komunitas yang belum punya hunian tetap mereka mau disiapkan hunian tetap,” katanya.

Artinya ada proses pendampingan yang memberikan keyakinan bahwa kalau mereka diberi hunian tetap kemungkinan anak-anak bisa sekolah dengan baik dan kehidupan mereka bisa terjangkau ketika ada program-program perlindungan sosial, kata Khofifah menambahkan.

Penanganan orang rimba juga harus mempertimbangkan kearifan lokal, sebab mereka memiliki adat istiadat, tradisi, serta cara pandang sendiri.

Selain itu, penanganan SAD perlu memperhatikan hasil kajian yang dilakukan lintas lembaga ataupun kementerian terkait. Mereka harus mulai diintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga bisa terbuka interaksi sosial.

“Langkah awal penanganan, agar mereka terbuka perlu interaksi sosial dan diintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya,’ katanya.

Kementerian Sosial akan menindaklanjuti tawaran Hunian Tetap (Huntap). UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Adat, bisa diusulkan dengan pemberikan desa adat kepada warga SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi. AN-MB