Badung, (Metrobali.com) 

 

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali melalui Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar kembali menunjukkan komitmennya dalam menegakkan peraturan keimigrasian. Terbukti dengan pendeportasian seorang Warga Negara Asing (WNA) di Bali berinisial IA (33), seorang wanita berkebangsaan Belarusia.

IA, seorang warga negara Republik Belarus, terpaksa harus berurusan dengan petugas imigrasi Indonesia terkait dengan kegiatan dan keberadaannya yang disponsori oleh SN, sebuah salon kecantikan kuku di Bali. IA, gadis kelahiran 1991, terbukti bekerja di SN sebagai Nail Artist.

Plh. Kepala Rumah Detensi Imigrasi Denpasar, Gravit Tovany Arezo menjelaskan bahwa IA pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 2019 dengan tujuan berwisata dan tinggal selama satu bulan. Namun pada kedatangannya terakhir kali, yakni pada awal bulan Juli 2024, IA mulai bekerja sebagai Nail Artist di SN.

IA mengungkapkan bahwa di negara asalnya, ia bekerja sebagai Nail dan Tattoo Artist. Di Indonesia, ia bekerja secara freelance tanpa kontrak di SN. Kegiatan sehari-harinya di salon tersebut meliputi menghias kuku pelanggan, memotong, merapihkan, menyambung, membentuk, dan menggambar kuku sesuai dengan keinginan pelanggan. Jam kerjanya tidak menentu, tergantung pada janji yang telah dibuat oleh pemilik salon, T, dengan para pelanggan.

IA mengaku tidak tahu banyak tentang struktur perusahaan SN, jumlah pekerja atau kondisi lainnya dalam perusahaan. Ia mengenal T melalui Instagram dan menghubungi T untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Ia menegaskan bahwa tidak ada yang mengajaknya bekerja di SN, semua atas kemauannya sendiri yang mencari peluang pekerjaan di sana.

Selama bekerja di SN, IA mendapatkan upah setiap minggu sebesar 40% dari setiap layanan yang ia berikan kepada pelanggan. Harga layanan bagi orang asing berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 1.000.000.

IA menggunakan jasa sebuah agen untuk mengurus visa dan izin tinggalnya di Indonesia. Namun, IA mengakui bahwa ia melakukan kesalahan karena berkegiatan tidak sesuai dengan peruntukan izin tinggal yang diberikan kepadanya. Ia beralasan bahwa ia hanya ingin mengisi liburannya di Indonesia dengan kegiatan yang produktif.

Tindakan melawan hukum yang dilakukan IA tercium oleh Direktorat Jenderal Imigrasi melalui sebuah laporan dari masyarakat yang melihat adanya tanda-tanda pelanggaran hukum yang terjadi.

Kasus ini ditangani langsung oleh Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Ditwasdakim) sebagai upaya penegakan hukum keimigrasian bagi WNA yang berada di Indonesia. IA menyadari bahwa ia telah melanggar aturan izin tinggal yang berlaku. Pada kasus ini, IA telah melanggar Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, yakni tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan dengan melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.

Jumat, 26 Juli 2024, oleh Ditwasdakim, IA dimintai keterangan kemudian diserahkan kepada Rumah Detensi Imigrasi Denpasar untuk melanjutkan proses sampai dengan pendeportasian. IA didetensi pada 26 Juli 2024 dan dengan upaya yang maksimal, IA dideportasi pada hari yang sama.

Pada 26 Juli 2024, IA telah dideportasi ke kampung halamannya, Belarusia dengan dikawal ketat oleh petugas Rudenim Denpasar dan telah diusulkan dalam daftar penangkalan Direktorat Jenderal Imigrasi.

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu mengungkapkan bahwa kasus ini menjadi pengingat penting bagi para warga asing yang berada di Indonesia untuk selalu mematuhi aturan dan ketentuan yang berlaku terkait izin tinggal dan kegiatan yang diizinkan. Diharapkan pula Bali tetap menjadi destinasi yang aman dan tertib bagi wisatawan dan penduduk asing yang menghormati hukum dan peraturan yang berlaku.

“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Selain itu keputusan penangkalan seumur hidup dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Namun demikian keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” tutup Pramella.

(jurnalis : Tri Widiyanti)