miras mini market

Denpasar (Metrobali.com) –

Dalam waktu dekat ini akan diberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2014 yang salah satunya soal larangan minuman golongan A dengan kadar alkohol dibawah 6 persen untuk dijual di minimarket, warung, kios dan pengecer.

Atas hal ini, para pedagang, pengecer, yang selama ini beroperasi di seluruh pantai wisata di Bali menolak Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2014.

Di Bali terutama di pantai-pantai yang menjadi tempat wisata, bir bisa dikatakan menjadi kebutuhan utama dan menjadi pekerjaan masyarakat lokal. Bila bir dilarang dijual maka hancurlah pariwisata Bali.

Menyikapi hal itu, para pedagang, pemandu, surfer, yang beroperasi di seluruh pantai di Bali menggelar diskusi di Denpasar, Jumat (13/3).

Tampil sebagai pembicara adalah Pemred Majalah Magic Wave, Piping, musikus Bali, sosiolog asal Universitas Warmadewa Totok Kuswanto, serta para pelaku pariwisata di kawasan wisata pantai seperti Rai Misno, Kojeng Kurniawan dan para pedagang lainnya.

Menurut Totok Kuswanto, Indonesia itu berubah begitu cepat. Saat ini sudah ada peraturan menteri perdagangan no 20 bagaimana minuman keras itu diatur.

Kemudian direvisi soal penjualan di minimarket, kios, warung, pengecer dan sebagainya dan akan berlaku tanggan 16 April tahun ini. Peraturan ini mengagetkan banyak orang.

“Bir itu minuman golongan A, kadar alkoholnya sangat rendah. Larangan ini sangat tidak masuk akal dan terlalu stereotip karena minuman ini dinilai dijual secara bebas dan dan menjadi salah satu penyebab kejahatan,” katanya.

Sulit dibayangkan, jika hal ini diberlakukan maka akan lebih dari 1000 orang penduduk lokal di Bali yang akan kehilangan pekerjaan baik langsung karena mereka adalah penjual bir, maupun efek dominonya.

“Kalau bir hilang dari pantai, maka wisatawan juga tidak akan betah di pantai. Jadi mau pilih mana. Bir hilang di pantai atau wisatawan yang hilang di pantai di seluruh Bali,” ujar Piping.

Menurutnya, cool box yang beredar hampir di seluruh pantai di Bali sebagian besarnya berisi bir berukuran sedang atau botol kecil. Itu berarti sebagian besar wisatawan yang berjemur, snorkling, surfing, konsumsi utamanya bir.

“Kalau bir dilarang dijual di pantai maka habislah Bali. Habislah pedagang, pengecer, yang selama ini beroperasi di Bali. Jadi sekali lagi, mau pilih yang mana, bir yang hilang dari pantai atau wisatawan yang hilang. Silahkan saja teruskan pemberlakuan Permendag itu,” sinisnya.

“Pertanyaan kita, adalah siapa yang menikmati bir, siapa yang menikmati keuntungan. Ini ada upaya untuk menutupi agenda yang lebih besar. Pemerintah sangat konyol mengurus soal minuman bir itu,” ujarnya.

Masih banyak urusan negara yang lebih penting, lebih besar, daripada mengatur penjualan bir. Terlalu stereotip jika ada asumsi kalau orang minum bir di pantai, di warung akan menimbulkan mabuk. Kalau ada UU yang mengatur orang minum bir, sama dengan melarang orang untuk makan dan minum.

Manajer Area Bir Bintang Bali Dandu Maryono mengatakan, dalam sehari ada sekitar 6 ribu botol bir bintang berukuran sedang yang tersebar di seluruh pantai di Bali. Harga perbotol sebanyak Rp 25 ribu.

“Bila itu dilarang maka kita akan mengalami kerugian sebesar Rp 150 juta perhari. Angka ini termasuk pajak dan sebagainya,” katanya.

Ia mengaku, selama ini banyak pedagang lokal yang berjualan bir di pantai maupun di pinggir pantai. Jumlah mereka sangat banyak dan sebagian besar memiliki keluarga.

“Kalau mereka tidak berjualan, akan banyak yang dikorbankan, kehilangan pekerjaan. Mau makan apa isteri anak mereka,” ujarnya.

Ia mengaku sekitar 40 persen penjualan bir sedang di Bali ada di pantai. Untuk itu pihaknya berharap, orang Bali wajib melakukan pendekatan baik secara peraturan pemerintah dan adat agar kelompok ini tetap eksis di Bali.SIA-MB